dok. KBRI Stockholm
Lingkoping - Konsep Bhinneka Tunggal Ika telah teruji sebagai perekat kuat dalam masyarakat multikultural di Indonesia.
Demikian pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia (UI) Dr. Hariyadi Wirawan dalam seminar Indonesia and Sweden: Brothers in Integration, Challenges and Opportunities of Multiculturalism di University of Linköping, Swedia.
Seminar digelar KBRI Stockholm bekerjasama dengan PPI Linköping dan University of Linköping, seiring meningkatnya diskusi mengenai multikulturalisme di berbagai negara, termasuk Swedia, tutur Minister Counsellor Endang Wirawan kepada detikcom, Rabu (18/5/2011).
Menurut Hariyadi, konsep Bhinneka Tunggal Ika memiliki daya psiko-sosial kuat dan telah sanggup meninggalkan beberapa aspek penting pada pembentukan karakter bangsa.
"Konsep ini yang menjaga Indonesia dari ancaman terbesarnya, yaitu desintegrasi," terang Hariyadi.
Lanjut Hariyadi, beberapa kelembagaan penting yang dianggap ikut menyumbang pada tetap merekatnya keutuhan bangsa Indonesia, antara lain adalah TNI, dan pendidikan nasional yang sekular.
"Selain itu juga penguatan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, serta berbagai program pemerintah yang secara konsisten berorientasi pada ’pembangunan bangsa'," papar Hariyadi.
Mengenai berbagai tantangan dan ujian ketika memasuki masa transisi pasca Orde Baru, menurut Hariyadi, persoalan terberat adalah penerimaan konsep demokrasi yang tidak cukup lengkap, sehingga menyebabkan kesulitan dalam penerapannya.
Hal itu dipersulit dengan pelemahan kohesi sosial yang dipicu oleh persoalan mendasar kenegaraan, seperti otonomi daerah, meningkatnya kesadaran primordial, dan identitas etnisitas.
"Sehingga Indonesia menjadi terbuka bagi masuknya berbagai ideologi yang dirasakan tidak selalu kompatibel dengan keumuman budaya Indonesia," jelas Hariyadi.
Di samping itu, sebagai akibat dari perspektif sejarah pembentukan segmentasi sosial sejak kedatangan agama-agama besar di Indonesia, terciptalah sebuah lapis sosial yang mempertahankan keunggulan-keunggulan elemen lokal dan nilai- nilai tradisional dalam mengadopsi kepercayaan religius mereka, sehingga terbentuk pengelompokan sosiologis yang bernama ’kaum sekular’.
"Kelompok sosial ini menjadi penghalang terhadap penerimaan begitu saja keyakinan keagamaan pendatang, yang bersikap kaku, cenderung radikal, dan sekaligus melunakkan berbagai tafsir ketat pada tataran implementasinya," pungkas Hariyadi.(es/es)
sumber; detik.com
Demikian pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia (UI) Dr. Hariyadi Wirawan dalam seminar Indonesia and Sweden: Brothers in Integration, Challenges and Opportunities of Multiculturalism di University of Linköping, Swedia.
Seminar digelar KBRI Stockholm bekerjasama dengan PPI Linköping dan University of Linköping, seiring meningkatnya diskusi mengenai multikulturalisme di berbagai negara, termasuk Swedia, tutur Minister Counsellor Endang Wirawan kepada detikcom, Rabu (18/5/2011).
Menurut Hariyadi, konsep Bhinneka Tunggal Ika memiliki daya psiko-sosial kuat dan telah sanggup meninggalkan beberapa aspek penting pada pembentukan karakter bangsa.
"Konsep ini yang menjaga Indonesia dari ancaman terbesarnya, yaitu desintegrasi," terang Hariyadi.
Lanjut Hariyadi, beberapa kelembagaan penting yang dianggap ikut menyumbang pada tetap merekatnya keutuhan bangsa Indonesia, antara lain adalah TNI, dan pendidikan nasional yang sekular.
"Selain itu juga penguatan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, serta berbagai program pemerintah yang secara konsisten berorientasi pada ’pembangunan bangsa'," papar Hariyadi.
Mengenai berbagai tantangan dan ujian ketika memasuki masa transisi pasca Orde Baru, menurut Hariyadi, persoalan terberat adalah penerimaan konsep demokrasi yang tidak cukup lengkap, sehingga menyebabkan kesulitan dalam penerapannya.
Hal itu dipersulit dengan pelemahan kohesi sosial yang dipicu oleh persoalan mendasar kenegaraan, seperti otonomi daerah, meningkatnya kesadaran primordial, dan identitas etnisitas.
"Sehingga Indonesia menjadi terbuka bagi masuknya berbagai ideologi yang dirasakan tidak selalu kompatibel dengan keumuman budaya Indonesia," jelas Hariyadi.
Di samping itu, sebagai akibat dari perspektif sejarah pembentukan segmentasi sosial sejak kedatangan agama-agama besar di Indonesia, terciptalah sebuah lapis sosial yang mempertahankan keunggulan-keunggulan elemen lokal dan nilai- nilai tradisional dalam mengadopsi kepercayaan religius mereka, sehingga terbentuk pengelompokan sosiologis yang bernama ’kaum sekular’.
"Kelompok sosial ini menjadi penghalang terhadap penerimaan begitu saja keyakinan keagamaan pendatang, yang bersikap kaku, cenderung radikal, dan sekaligus melunakkan berbagai tafsir ketat pada tataran implementasinya," pungkas Hariyadi.(es/es)
sumber; detik.com
SHARE BERITA: