Illustrasi musyawarah masyarakat adat (foto antarabengkulu) |
Bengkulu - Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Bengkulu menyambut gembira putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
"Kami menyambut gembira putusan MK tentang Undang-undang Kehutanan bahwa hutan adat akan dikeluarkan dari statusnya sebagai hutan negara," kata Ketua Pengurus AMAN wilayah Bengkulu Deftri Hamdi di Bengkulu, Jumat.
Ia mengatakan bahwa dengan putusan tersebut hak masyarakat adat untuk mengeolola dan memanfaatkan hutan adat terbuka luas.
Apalagi saat ini di Bengkulu terdapat sejumlah sengketa antara masyakat adat dan pemerintah terkait pengelolaan hutan adat.
"Seperti masyarakat adat Semende yang tinggal di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang saat ini berjuang mempertahankan hutan adat mereka," katanya.
Putusan MK dengan nomor perkara 35/puu-x/2012 itu akan berdampak positif pada kehidupan masyarakat adat untuk mempertahankan hak tenurialnya (memelihara, memegang, dan memiliki).
Dalam putusan MK atas perkara tersebut bahwa hutan adat dikeluarkan dari hutan negara baik yang berstatus taman nasional, cagar alam, hutan lindung, taman buru, taman wisata alam, utan produksi dan hutan produksi terbatas.
Negara, kata dia, wajib mengakui tanah adat yang dikelola secara turun temurun oleh masyarakat adat.
"Artinya segala bentuk yang menghalangi dan intimidasi terhadap masyarakat adat berarti melawan Undang-undang," katanya.
Masyarakat adat, kata dia, berhak mengurus sepenuhnya tanah adat, hutan dan lingkungan yang merupakan hak yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua Majelis Hakim Akil Mochtar saat membacakan putusan di Jakarta, Kamis (16/5).
Dalam putusannya ini, MK membatalkan sejumlah kata, frasa dan ayat dalam UU Kehutanan, misalnya menghapus kata "negara" dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, sehingga Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan menjadi: "Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat."
MK juga menafsirkan bersyarat Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang tidak dimaknai "Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat" dan menghapus frasa "dan ayat (2) dalam Pasal 5 ayat (3).
"Para warga masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya.
Jadi, tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat seperti dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945," kata Hakim Konstitusi M. Alim saat membacakan pertimbangan hukumnya. (Antara)
Editor: Helti Marini S
COPYRIGHT © 2013
Sumber: (Antarabengkulu)
SHARE BERITA: