sumber foto: kpk.go.id |
Sore itu, kota Banda Aceh berlapis gerimis tipis. Di sudut sebuah warung kopi yang belum terlalu ramai, beberapa pemuda asyik membolak-balik halaman koran pagi dan beberapa orang lainnya asyik dengan gadget-nya. Warung kopi, menjadi rumah kedua bagi sebagian besar warga Aceh.
Bahkan seringkali, orang lebih mudah ditemui di warung kopi daripada di kantor atau tempat aktivitas lainnya. Tak pelak, warung kopi ini menjadi lokasi strategis yang dilirik oleh Sekolah Antikorupsi Aceh untuk melebarkan sayapnya. Di warung kopi inilah kemudian digelar diskusi-diskusi, kampanye dan pendidikan antikorupsi. Ide ini awalnya digagas oleh
Sekolah Antikorupsi Aceh yang telah bergiat dalam pendidikan antikorupsi sejak tahun 2010 silam.
Sekolah Antikorupsi ini diinisiasi oleh LSM GeRAK Aceh yang menyadari perlunya sebuah kaderisasi untuk terus berjuang melawan korupsi, khususnya di Aceh. Suhendri, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Sekolah Sekolah Antikorupsi Aceh menyatakan fenomena korupsi di Aceh saat itu dirasakan makin parah. “Salah satu penyebabnya adalah kaderisasi gerakan antikorupsi di Aceh sangat rendah, tidak ada kader militan. Yang kami temui hanya kader-kader instan yang sering ikut demonstrasi tapi kemudian menghilang,” terang Suhendri.
Kondisi seperti ini yang semakin membulatkan tekat teman-teman LSM GeRAK Aceh untuk membentuk sekolah antikorupsi. “Tapi kami inginnya membuat sekolah informal dan tidak menggunakan konsep training,” tambahnya. Menurut Suhendri, sekolah demokrasi Jogja dan PUKAT UGM menjadi rujukan yang kemudian diadopsi dan disesuaikan dengan kondisi di Aceh.
Siapa sangka, peminat sekolah antikorupsi ini makin hari semakin banyak. Di tahun ketiga pendirian sekolah ini, sudah ada tiga angkatan yang dihasilkan. Mulai dari jumlah murid hanya 15 orang, jumlah ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2012, sudah 83 orang lulus dari sekolah ini.
“Kami mengharuskan setiap calon siswa membuat makalah sebelum masuk sekolah ini. Begitu pula nanti sebagai syarat kelulusan, setiap murid harus membuat tugas akhir berupa laporan atau temuan kasus korupsi, yang kemudian diuji oleh tiga pengajar secara tertutup. Nantinya kasus ini akan dibuka kepada publik melalui media massa,” tandasnya.
Sekolah Yang Terus Tumbuh
Sekolah ini sekarang memiliki 24 orang pengajar tetap dari beberapa instansi seperti BPKP, kepolisian, kejaksaan, beberapa LSM, dan pemerintah daerah Aceh. Periode penanganan kasus-kasus korupsi di Aceh oleh KPK.
Wakil Ketua KPK Zulkarnain dengan sabar menjawab semua pertanyaan mereka dan bahkan memberi apresiasi atas kemauan siswa Sekolah Antikorupsi di Aceh untuk terus berjuang melawan korupsi. “Dengan keterbatasan yang ada, Anda semua mau terus berjuang melawan korupsi di Aceh. Ini sangat membanggakan,” tegasnya.
Ya, kondisi Sekolah Antikorupsi Aceh terkesan sangat sederhana. Bisa dibilang, belum ada fasilitas memadai untuk sebuah lembaga pendidikan. Mereka masih “numpang” di kantor GeRAK Aceh, LSM yang sekaligus inisiator sekolah ini. Siswa yang bersekolah di sini juga hanya dipungut biaya masuk Rp50 ribu. Itupun dikembalikan dalam bentuk seragam berupa t-shirt.
Meski begitu, sekolah yang pernah mendapatkan Anugerah Seputar berencana untuk menjalin komunikasi lebih intens dengan pemerintah daerah. “Kami pernah diminta membuat roadmap pencegahan korupsi di Aceh.”
Masih menyimpan banyak mimpi, kehadiran sekolah antikorupsi di Aceh sekolah adalah enam bulan sudah termasuk praktik lapangan. Mata kuliah yang diajarkan antara lain, Islam dan Pemberantasan Korupsi, Gender dan Korupsi, HAM dan Korupsi. Selain itu juga diajarkan beberapa pelajaran khusus, antara lain Dasar-dasar Akuntansi, Membaca Anggaran, Analisa Anggaran, dan Dasar-Dasar Teknik Investigasi Korupsi.
Saat berkunjung ke sana, suasana sore di rumah yang digunakan untuk markas LSM GeRAK Aceh ini tampak ramai. Beberapa siswa berkumpul untuk berdiskusi bersama Wakil Ketua KPK Zulkarnain. Mereka tampak antusias bertanya, sejauh mana Indonesia 2012 dari salah satu televisi swasta ini, tetap mengembangkan ide-ide kreatif untuk semakin memantapkan gerakan antikorupsi di Aceh. Dengan motto “Belajar, Berjuang, Memberantas” mereka tidak pernah diam untuk terus menggerakkan roda dinamika perjuangan antikorupsi di Aceh.
“Beberapa alumni yang kembali ke daerah (di luar Banda Aceh) sudah banyak yang ingin mendirikan cabang sekolah antikorupsi ini. Kami sedang memikirkan ke arah sana,” kata Suhendri ketika ditanya mengenai pengembangan sekolah ini nantinya.
Selain itu, sekolah Antikorupsi juga ini sungguh menginspirasi. Gerakan yang diinisiasi sendiri oleh masyarakat dan mereka pula yang memiliki banyak inisiatif untuk mengembangkan gerakan antikorupsi ini. Suhendri, beberapa teman GeRAK Aceh dan juga siswa sekolah antikorupsi ini seperti tak habis ide untuk menyelipkan gerakan antikorupsi di kegiatan yang dekat dengan masyarakat Aceh. Mereka saat ini memiliki Pojok Antikorupsi di beberapa warung kopi di Aceh.
Kini obrolan di warung kopi tak hanya kosong belaka. Dari sini pula mereka memikirkan banyak ide untuk menghidupkan sekolah antikorupsi yang mereka sebut sebagai sekolah untuk berpikir merdeka.
Sumber: kpk.go.id
SHARE BERITA: