KH . Saifuddin Zuhri |
Aneh! Bisa jadi, begitulah kesan ketika KH. Saifuddin Zuhri tidak langsung menerima tawaran Presiden Soekarno menjadi Menteri Agama, 17 Februari 1962 silam. Terlebih jika dilihat dari sudut pandang masyarakat sekarang, ketika banyak orang berlomba-lomba mengejar jabatan.
Tetapi seperti itulah Saifuddin, yang sebelumnya menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Seusai Soekarno memintanya menggantikan KH. Wahib Wahab yang mundur sebagai Menteri Agama, Saifuddin justru meminta waktu kepada Presiden. Yang dilakukan Saifuddin kala itu, adalah meminta pendapat terlebih dahulu kepada tokoh teras NU, khususnya KH. Wahab Chasbullah, KH Idham Chalid, dan KH. Wahib Wahab sendiri.
Tetapi seperti itulah Saifuddin, yang sebelumnya menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Seusai Soekarno memintanya menggantikan KH. Wahib Wahab yang mundur sebagai Menteri Agama, Saifuddin justru meminta waktu kepada Presiden. Yang dilakukan Saifuddin kala itu, adalah meminta pendapat terlebih dahulu kepada tokoh teras NU, khususnya KH. Wahab Chasbullah, KH Idham Chalid, dan KH. Wahib Wahab sendiri.
Tidak gila jabatan, sederhana, jujur, dan memegang amanah, begitulah pada akhirnya Saifuddin dalam mengemban amanah. Suatu karakter terpuji, yang memang dimilikinya sejak kecil. Saifuddin juga tidak mengenal aji mumpung. Dia tidak mau memanfaatkan jabatannya, misalnya dengan perbuatan yang memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, kelompok, atau keluarga. Lagi-lagi, sungguh jauh bila dibandingkan dengan polah para pejabat negeri ini sekarang.
Pernah suatu ketika, adik iparnya, Mohammad Zainuddin Dahlan mendatangai Departemen Agama. Ketika itu, siapa lagi yang hendak ditemui kalau bukan Saifuddin yang menjadi orang nomor satu di departemen tersebut. Dengan sedikit berbasa-basi, sampailah sang adik pada maksud utamanya. Zainuddin berkata, bahwa dia ingin diberangkatkan ke tanah Suci, untuk menunaikan ibadah haji. Dari mana biayanya? Tentu saja dari Departemen Agama.
Mendengar permintaan tersebut, sontak Saifuddin menolak. Dengan sangat halus dia mengatakan, bahwa tidak mungkin dirinya memberangkatkan kerabatnya sendiri untuk pergi haji. Mungkin memang benar bahwa jika dilihat dari sisi ekonomi dan jasa sang adik dalam perjuangan negeri ini, sebenarnya Departemen Agama memiliki hak untuk memberangkatkan seseorang. Namun kendalanya itu tadi, karena Zainuddin adalah kerabatnya sendiri.
“Satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen, karena kamu adalah adikku,” ujar sang menteri.
Begitulah Saifuddin. Selain amanah, dia juga terus hidup sederhana dan menjunjung tinggi kejujuran. Baik sebelum, semasa, dan seusai menjabat sebagai menteri. Faktanya, tak pernah Saifuddin hidup bergelimang kemewahan hingga akhir hayatnya. Bahkan saking sederhananya, sampai-sampai dia rela melakukan pekerjaan halal apapun demi menghidupi keluarga.
Hal itu bisa dilihat pada akhir 1980-an, jauh ketika sang kiai tak lagi menjabat sebagai menteri. Ketika itu, putra-putrinya merasa heran dengan kebiasaan Saifuddin. Setiap habis Shalat Dhuha, sekitar pukul 09.00, dia keluar rumah mengendarai mobilnya sendiri. Ke mana gerangan Saifuddin pergi? Dan untuk urusan apa? Kegiatan ini berjalan cukup lama tanpa satupun anggota keluarganya mengetahui. Sampai suatu hari, salah seorang putranya berhasil memergoki apa yang dikerjakan sang kiai di luar rumah. Bukan kepalang kagetnya, ketika sang putra mengetahui yang dikerjakan oleh ayahnya selama ini.
Rupanya, Saifuddin pergi ke pusat perdagangan Glodok. Tanpa harus merasa jatuh gengsi, dia berdagang beras kecil-kecilan demi menambah keuangan keluarga. Berdagang kecil-kecilan, baginya jauh lebih mulia ketimbang harus mendapatkan harta secara tidak halal dan memanfaatkan jabatan.
Sumber: kpk.go.id
SHARE BERITA: