Berita Terkini

Pemberantas Korupsi Sebatas Seremonial?

Oleh : Ks. Min Sergai.
 Hari Antikorupsi Sedunia diperingati setiap tanggal 9 Desember. Catatan tersebut menjadikan momentum untuk meningkatkan kualitas dan intensitas pemberantasan korupsi.Sebab, korupsi telah menjadi sesuatu yang sangat meresahkan tata-perilaku manusia Indonesia.
Hal itu diperparah dengan indeks persepsi korupsi yang dialamatkan kepada bangsa Indonesia. Terus meningkat, dan menempatkan Indonesia pada negara yang mendekati paling korup di dunia. Tentunya, hal ini bukanlah suatu prestasi yang membanggakan. Sungguh hal ini sangat menyakitkan. Di tengah kegermelapan dan kemewahan yang dimiliki bangsa Indonesia, ternyata korupsi tetap bersemayam dan menjadi bahaya laten yang bisa meluluhlantakkan sistem perekonomian bangsa ini. Apalagi dipahami bahwa korupsi merupakan suatu bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga perlu ditabuhkan genderang perang untuk itu.
Korupsi secara maknawi dapat dipahami ada beberapa term. Hal ini mengutip dari Soedjono Dirjosisworo (Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 2003: 17); suatu perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaaan yang bersifat buruk; perilaku yang jahat dan tercela atau kebejatan moral; penyuapan atau bentuk-bentuk ketidakjujuran. Terminologi ini sendiri telah populer menjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Hal ini sudah menjadi masalah dunia. Cara kerja korupsi itu memporakporandakan sistem perekonomian dunia. Atas dasar itu pula, pemberantasan korupsi ini menjadi agenda dunia dengan memperingatinya sebagai Hari Antikorupsi Sedunia.

Seremonial Belaka?

Momentum Hari Antikorupsi Sedunia diperingati seluruh umat manusia di dunia. Namun yang sangat dikhawatirkan adalah apa yan dilaksanakan tersebut sebatas seremonial belaka. Pada satu sisi teriakan untuk menghentikan korupsi didengungkan. Disuarakan dengan orasi yang sangat luar biasanya volume suaranya. Pada sisi lain, korupsi itu sendiri terus berlangsung dengan sendirinya.

Korupsi yang dilaksanakan itu dilakukan dengan diam-diam atau dengan terang-terangan; bahkan hal itu dilakukan secara pribadi manapun secara kolektif. Sungguh suatu ironi perilaku yang jauh dari nilai-nilai Ilahiah agama manapun. Sebab, agama manapun tidak memberikan ruang yang cukup untuk mengambil hak orang lain tanpa seizin yang empunya. Korupsi biasanya mengambil hak orang lain dengan cara-cara yang tersembunyi maupun dengan terang-terangan. Yang pada titik kulminisasinya, hal tersebut akan merugikan khalayak ramai. Itulah implikasi korupsi yang dilihat secara nyata.

Tentunya, tidaklah ada gunanya seremonial yang dilaksanakan dalam memperingati Hari Antikorupsi Sedunia tersebut, jika korupsi tetap berjalan dengan kencangnya, sementara pemberantasannya masih tetap berjalan di tempat. Sungguh suatu kontradiksi-interminus itu dapat dialamatkan kepada institusi yang memberantas korupsi. Sehingga yang terpenting adalah bagaimana implementnasi pemberantasan korupsi itu bisa berjalan dan perilaku korupsi dapat dihentikan dengan segera.

Penegakan Hukum yang Berkeadilan dan Bermartabat

Hukum yang dijunjung tinggi tetap merupakan landasan operasional untuk pemberantasan korupsi. Hukum untuk kepentingan hukum; itu sejatinya. Selama hukum itu merupakan produk hukum, maka hal itu dapat dipergunakan untuk kepentingan penegakan hukum. Tetapi tatkala hukum itu merupakan produk politik, maka jangan harap apa yang diinginkan dapat terwujud. Sebab, hukum yang dipratikkan adalah hukum yang menghamba kepada penguasa politik maupun penguasa pemerintahan.

Hal itu dapat dilihat dengan adanya praktik pemberantas dan korupsi yang PILIH –TEBANG; bukan TEBANG-PILIH. Kalau tebang-pilih; didahului dengan ditebang, lalu dipilih-pilih mana yang bisa untuk dilanjutkan dalam persidangan. Tetapi yang terjadi saat ini adalah, dipilih-pilih lebih dahulu, mana yang mungkin/bisa dijadikan kasus tersebut sampai kepada putusan pengadilan. Atau mana kasus hukum yang dilakukan oleh lawan politik. Tragisnya, hal itu hanya dikenakan kepada mereka yang melawan hukum dan secara kedekatan berseberangan secara aliran politik, dan tidak dalam satu kepentingan.

Selama penegakan hukum masih menganut hal yang sedemikian itu, selama itu pula pemberantasan korupsi tidak akan memberikan angin segar bagi penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat. Hukum hanya dijadikan instrumen untuk memperkuat posisi nilai tawar (bargaining) untuk suatu kepentingan yang lebih korup lagi. Tragis memang!

Sejatinya, penegakan hukum tetap berkeadilan dan bermartabat. Sehingga hukum itu tidak mengenal siapa pelaku yang dekat dengan penguasa atau dengan partai politik tertentu. Untuk hal ini diperlukan kekuatan yang sangat luar biasa besarnya kepada para aparatur yang bergerak di dalam bidang pemberantasan korupsi ini. Penguatan-penguatan ini dilakukan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya agar pemberantasan korupsi bisa berjalan dengan baik sesuai dengan koridor hukum. Untuk itu, para aktor yang bertugas mengawal hukum itu harus mempunyai integritas yang tinggi. Sangat diharapkan lagi adalah kebijakan politik untuk tidak melakukan intervensi terhadap langkah-langkah pemberantasan korupsi yang sedang dilaksanakan. Juga sangat diharapkan kepada presiden agar memberikan akses agar pemberantasan korupsi itu berjalan dengan baik. Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sejatinya pula dapat mencegah berbagai bentuk intervensi yang melilit pada lembaga penegakan hukum dalam bidang pemberantasan korupsi. Hal yang terakhir inilah yang sangat diharapkan agar hukum benar-benar menjadi panglima di negeri ini.

Penegakan hukum yang berkeadilan menjadi syarat mutlak agar kejahatan korupsi ini dapat dituntaskan. Sebab, korupsi merupakan bahaya laten yang dampaknya akan sangat besar terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang bermartabat adalah penegakan hukum yang meletakkan hukum sebagai sesuatu rule of game dalam tatanan kehidupan kebangsaan. Hal itu bisa dilakukan secara bersama, sinkron, terprogram, dan berkelanjutan.

Mulailah dari Diri Sendiri

Pemberantasan korupsi yang dilaksanakan tentunya tidaklah cukup sebatas seremonial. Sebab, korupsi telah menjadi suatu gangguan penyakit akut yang melanda bangsa ini. Lihatlah, hampir setiap hari media massa memberitakan hal tersebut. Korupsi terjadi di mana-mana. Tidak hanya pada instansi pemerintahan, tetapi juga telah dilakukan oleh intansi yang lainnya dengan rapi dan tersistematis sehingga merugikan keuangan negara. Hal itulah yang diberitakan media massa. Untuk hal ini, sukar sekali untuk membuat pernyataan negasinya. Sebab, hal itu terlihat seperti gunung es. Yang terlihat hanya sebagian kecil saja; puncak-puncaknya saja. Bahkan diduga, perilaku yang sedemikian dilakukan dalam jumlah yang besar dan dilakukan pula secara massif dan kolektif oleh para penggarong uang negara.

Membicarakan korupsi dalam seminar-seminar ilmiah serta dalam tebalnya buku-buku yang dicetak ulang secara best-seller, merupakan salah satu cara untuk pemberantasan korupsi. Tetapi hal itu tidak mempunyai relasional-ship yang signifikan terhadap pemberantasan korupsi kalau perilaku para individu yang melakukan kegiatan tersebut juga masih berada dalam lingkaran korupsi. Bukan tidak mungkin dalam seminar-seminar antikorupsi yang dilakukan ternyata, juga melakukan korupsi. Sungguh suatu perilaku yang jauh dari akal sehat; berusaha menghalau orang lain untuk tidak melakukan korupsi ternyata dirinya sendiri melakukan korupsi itu dengan cara yang sistematis dan kolektif.

Untuk itu, mulailah dari diri sendiri. Mulailah dari berperilaku hidup sederhana. Berperilaku hidup sederhana inilah yang semestinya digalakkan. Dialektika ini juga telah digagas oleh Ketua KPK, Busyro Muqoddas agar seluruh pejabat publik dapat hidup sederhana dan tidak hedonisme. Terlepas statemen itu menimbulkan polemik yang berkepanjangan, tetapi perlu diambil hikmahnya bahwa apa yang disampaikan tersebut memang ada benarnya. Dan hal itu sesuai dengan koridor untuk pemberantasan korupsi.

Pola hidup sederhana ini sesungguhnya muncul dari dalam diri sendiri. Tetapi perlu pula dipahami, hal ini akan lebih efektif jika dilakukan dengan pola peneladanan sikap hidup sederhana. Hal ini bermakna bahwa seluruh pejabat publik itu hidup sederhana. Pejabat publik, mulai dari level terendah sampai level tertinggi harus dapat memberikan teladan bahwa hidup itu harus sederhana dan tidak perlu bermewah-mewah. Sebab, pola hidup sederhana tidak perlu dipidatokan dan diorasi-ilmiahkan secara besar-besaran. Cukuplah hal itu dipraktikkan oleh para pejabat publik. Karena itu pula, kita sangat berharap agar pejabat publik dapat hidup sederhana. Tidak perlu menunjukkan kemewahan yang dimiliki, jikapun hasil itu diperoleh dari sumber yang halal. Konon pula, kalau hasil tersebut diperoleh dari cara-cara yang jauh dari halal.

Penutup

Pemberantasan korupsi tidak cukup pada tataran seremonial. Tetapi yang sangat penting adalah penegakan hukum harus berjalan sesuai koridornya. Hal ini harus dilakukan dengan penguatan terhadap aparatur penegakan hukum serta sistem hukum. Jika hal tersebut dilakukan penguatannya, maka akan sangat mudah untuk dilakukan. Bersamaan dengan itu, perilaku hidup sederhana harus dipraktikkan oleh para pejabat publlik. Hal yang terakhir dilakukan dalam rangka bentuk keteladanan di tengah masyarakat.

Sekali lagi, dan untuk selamanya, KATAKAN TIDAK DENGAN KORUPSI!

Penulis adalah PNS pada Pemkab Serdang Bedagai berdomisili di Tanah Bertuah, Negeri Beradat.(analisadaily)


SHARE BERITA:


Alamat: Jl. Tiga Lingga No. 34 Km 6, Dairi, Sumatera Utara Kontak : 6285360048678, 6288261852757 Email : maha_lipan@yahoo.co.id, maha.lipan@gmail.com.

Hak cipta @ 2009-2014 MAHALIPAN Dilindungi Undang-undang | Designed by Mahalipan | Support by Templateism.com | Power by Blogger

Theme images by Gaussian_Blur. Powered by Blogger.