Oleh : Sorta Pandiangan, SE. |
dari insan-insan penegak hukum, yang semestinya menjunjung tinggi dan melindungi etika profesi sebagai penjaga keadilan dan ketertiban hukum.
Jaksa nonaktif dari Kejari Cibinong, Sistoyo, telah ditetapkan sebagai tersangka dan menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kasus suap dalam perkara pemalsuan dokumen pembangunan Pasar Festival, Cisarua Bogor. Pada saat bersamaan, di Jakarta dikabarkan Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Agung telah memecat seorang hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Yogyakarta karena hakim itu meminta pengacara untuk menyediakan penari telanjang dan tiket pesawat. Sedangkan, seorang hakim di Pengadilan Syariah, Tapaktuan, Aceh dipecat karena berbuat cabul dengan pihak yang berperkara.
Problem Mengkhawatirkan
Kasus-kasus tersebut hanya contoh kecil yang menunjukkan betapa persoalan integritas moral dan etika para penegak hukum masih menjadi problem yang mengkhawatirkan. Dua contoh kasus terakhir itu memang hanya berada pada ranah moral privat, namun terhadap personel penegak hukum yang bertanggung jawab atas kokohnya keadilan dan ketertiban hukum, kualitas moral dari segala aspeknya merupakan syarat utama untuk menjamin pelaksanaan tugas dan kewajiban para penegak hukum berjalan semestinya.
Disisi lain, suburnya perilaku hedonis di kalangan politisi juga membuat masalah moralitas pejabat publik semakin kompleks. Mereka pada umumnya semakin lupa akan tugas utama sebagai pemberi pencerdasan politik rakyat dan tanggung jawab awal mereka sebagai pelayan masyarakat dus ikut menciptakan kesejahteraan rakyat. Keterlenaan mereka terhadap materi membuat mereka semakin lupa akan realitas sosial. Perhatian mereka pun kian hanya tercurah untuk mengamankan golongan politik mereka, yang hingga kini tidak henti-hentinya dihujani peluru panas kritik publik.
Pendulum politik yang sejatinya mengarah pada pencerdasan dan pemugaran bangunan publik, tampak semakin berbalik arah, dan rakyat pun hanya dapat termangu lesu memikirkan nasibnya. Sinergi antara politisi dan rakyat pun dinilai hanya berada dalam arena kampanye menjelang pemilu, tempat janji-janji ditebarkan, guna meraup suara sebanyak mungkin demi peraihan kekuasaan. Setelah itu, jurang pemisah rakyat-politisi semakin lebar, keadaan harmonis dan sinergis laiknya waktu kampanye pudar dan langsung berganti ingar-bingar kasus suap dan korupsi yang meruyak.
Tren jatuh-bangun kasus suap dan korupsi begitu menjamur. Perilaku hedonis yang mementingkan kenikmatan badani semakin menjadi tren hidup. Politik, yang sejatinya merupakan arena untuk membaktikan diri demi meningkatkan kesejahteraan rakyat dus mentransferkan energi kekuasaan dan mendistribusikan kedaulatan ke muara populis, semakin tersumbat, hanya dipenuhi egoisme diri yang mementingkan kelompok dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Tidak heran, suap dan korupsi terus mengembuskan bau amis di tengah kehidupan politik. Apa jadinya dengan nasib bangsa ke depan? Perlu digarisbawahi, korupsi dan suap, yakni perilaku anomali pejabat publik, terutama para politisi, sejak dahulu memang menjadi ancaman serius peradaban besar seperti Romawi. Sebab, krisis moral sungguh merontokkan fondasi negara dan menggiring bangsa ke jurang kehancuran.
Sangat Penting
Sesungguhnya, bila dikaitkan dengan hasrat dan tekad semua pihak untuk memberantas korupsi di negeri ini, integritas para penegak hukum sangat penting. Apa jadinya apabila moralitas, etika, dan akuntabilitas penegak hukum dipertanyakan? Kasus yang terberitakan tersebut sangat mungkin ibarat gunung es, dengan kasus yang tidak terberitakan, tidak tersentuh, atau tersembunyi jauh lebih banyak lagi. Dalam konteks agenda pemberantasan korupsi dan pembangunan ketertiban hukum serta keadilan, sangatlah penting untuk melihat kembali bagaimana reformasi hukum yang sedang dijalankan mampu membawa perbaikan pada integritas penegak hukum.
Sebab, hakim menduduki posisi sentral dalam proses peradilan. Dalam posisi sentral itulah diharapkan hukum dan keadilan dapat ditegakkan. Harapan akan proses hukum yang berkeadilan hanya dapat terwujud apabila didukung insan penegak hukum yang baik dan berkualitas. Terdapat banyak pandangan tentang kriteria hakim baik antara lain, memiliki kemampuan hukum, berpengalaman memadai, memiliki integritas, memiliki kesehatan yang baik, mencerminkan keterwakilan masyarakat, memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbahasa dan menulis, mampu menegakkan hukum negara dan bertindak independen dan imparsial, dan memiliki kemampuan administratif.
Kriteria itu dapat diringkas dalam dua kata kunci: integritas dan profesionalisme. Kedua hal tersebut tentu dapat tercapai apabila berada dalam sistem yang baik, melalui perekrutan dan seleksi yang benar-benar terukur. Integritas dan profesionalisme juga bukan datang dari lahir, melainkan terbentuk dalam proses menjalankan tugas dan kewajibannya dalam sistem yang baik. Penindakan terhadap para penegak hukum nakal merupakan salah satu cara untuk membentuk integritas itu, tetapi juga perlu dibarengi dengan transparansi dan akuntabilitas sistem hukum.
Para pejabat publik mesti serius belajar dari berbagai teori dan pengalaman negara ambruk seperti Imperium Romanum. Karena krisis dan ambruknya sebuah negara-bangsa selalu bermula dari krisis moral, yang "dipelopori" kaum elite negeri, maka revitalisasi moral di kalangan elite negeri atau politisi harus menjadi suatu tuntutan demi pengendalian dan pencegahan kebobrokan moral bangsa.
Tatkala negara sedang dirundung banyak persoalan, para politisi dan para elite negeri atau pejabat negara mesti tampil sebagai penjaga gerbong dan pemberi citra moral. Masyarakatpun perlu diingatkan agar tetap menyorot perilaku dan moral pejabat publik yang tidak terpuji. Dengan demikian, maka diharapkan bahwa budaya malu akan segera tertanam dalam diri masing-masing pejabat publik dan nantinya akan mampu merubah perilaku yang penuh dengan noda itu.
Penulis: kolumnis dan pemerhati ekonomi, bermukim di kota Medan.(analisadaily)
SHARE BERITA: