Oleh : Sorta Pandiangan, SE. |
dengan alasan sebelum tuntas kejelasan atas status yang mereka sandang dalam rangka proses hukum yang kini sedang berjalan. Sebagaimana kita ketahui bahwa posisi Banggar belakangan ini tengah mendapat sorotan tajam akibat beberapa nama anggota Banggar yang diduga turut terlibat dengan berbagai permasalahan atas beberapa kasus laporan korupsi yang kini tengah ditangani oleh KPK.
Bermula dari permasalahan berbau korupsi pengadaan Alkes di Kemenkes, kemudian proses tender pelaksanaan pembangunan wisma atlet Sea Games 2011 hingga terakhir adanya dugaan kasus suap yang terjadi di lingkungan Kemenakertrans. Beberapa kejadian tersebut dalam penanganannya yang dilakukan pihak KPK baik pada proses pengumpulan bukti dan keterangan, penyidikan hingga penyelidikan memberi arah yang cukup kuat mengenai adanya indikasi keterlibatan Banggar.
Sebagai komponen kelengkapan DPR yang memiliki peran cukup strategis dan penting yang berwenang dalam menyusun, merumuskan dan menentukan kebijakan besaran anggaran belanja negara melalui draft proposal yang sebelumnya diajukan oleh pemerintah, Banggar tentu bisa saja melakukan kesalahan prosedur, baik yang tanpa disadari maupun proses prosedur yang sengaja dilalaikan demi sebuah kepentingan partai maupun pribadi.
Indikasi Mafia Anggaran
Pelan-pelan mulai terkuak, sedikit demi sedikit. Lewat publikasi media massa dan perbincangan para elit politik, publik mulai menyadari apa dan siapa sebenarnya sosok bernama Banggar ini. Kalau dalam masa-masa sebelumnya publik terus beranggapan bahwa Gayus Tambunan dan M.Nazaruddin dan lain-lain, adalah aktor besar dan paling berkuasa atas ulah mega korupsi di negara ini, namun ternyata dibalik itu semua masih ada peran sosok yang lebih besar lagi. Korupsinya lebih menyeramkan, menakutkan dan licin.
Banggar adalah lembaga resmi kelengkapan DPR yang secara konstitusi berwenang dalam membahas RAPBN. Segala ihwal permasalahan negara yang menyangkut anggaran dan keuangan disusun secara sistematis oleh Banggar. Susunan tersebut nantinya akan dibahas kembali oleh komisi-komisi yang berkepentingan, unsur pimpinan DPR, pimpinan fraksi untuk kemudian disahkan melalui sebuah paripurna.
Nah, di sinilah kemudian timbul permasalahan ini. Banggar diduga, dengan kewenangan yang dimilikinya ikut bermain besaran anggaran negara tersebut melalui proyek pembangunan resmi yang diselenggarakan oleh negara, melalui proses percaloan-broker. Pada tahun 2011 ini contohnya, Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) yang baru dialokasikan pada APBN Perubahan 2011 malah dijadikan ajang perburuan materi tak halal sebagian oknum Banggar. Hal itu sangat tampak tercium seperti dalam kasus Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Dalam hal ini diduga ada indikasi lobi di tingkat pusat yang dilakukan oleh calo, bisa pihak birokrasi maupun politisi daerah maupun pengusaha tender yang memiliki modal sangat besar yang sanggup memberikan/menjanjikan sejumlah fee atau komisi sekian persen dari total kucuran dana yang nantinya akan digelontorkan negara. Cara-cara tidak fair dalam menarik perhatian pusat tersebut kemudian akan berujung pada sebuah petaka. Implikasinya dana tersebut justru akan mengacaukan dan meluluh-lantakkan seluruh sistem dana perimbangan sebagai instrumen penting dalam mengatasi masalah kesenjangan, kemiskinan antar daerah di Indonesia. Logikanya begini, bisa jadi ada suatu daerah yang sebenarnya tidak sedang memerlukan bantuan pembangunan jembatan dan tanggul misalnya, malah mendapat kucuran dana pusat untuk mendirikannya, namun sebaliknya ada daerah yang penduduknya miskin, kekurangan SDA dan keterpurukan dalam sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan tak kunjung mendapatkan bantuan pembangunan sekolah dan Puskesmas, sebab tak mampu untuk melakukan lobi-lobi demikian.
Padahal secara konstitusi Banggar DPR tidak memiliki kewenangan dan kapasitas teknis untuk menetapkan besaran alokasi dan daerah mana yang akan memperoleh DPPID. Pasal 107 ayat 2 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPDP dan DPRD secara tegas membatasi diskresi Banggar DPR yaitu; hanya membahas alokasi yang diputuskan oleh komisi. Adapun DPPID diputuskan dalam rapat kerja Banggar DPR, dari hasil optimalisasi pembahasan anggaran yang dilakukan.
Publik semakin terperangah, terlebih ketika semakin ditilik lebih cermat dan lebih mendalam, ternyata mayoritas anggota Banggar merupakan politisi-politisi yang memegang jabatan sebagai Bendahara Umum, Wakil Bendahara atau setidak-tidaknya politisi staf yang membidangi masalah anggaran di tubuh Partai Politiknya. Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang juga mantan anggota Banggar dan kini berstatus tersangka dalam kasus wisma atlet, sempat melantangkan adanya trik hitam yang banyak dilakukan para anggota Banggar dalam menyuplai begitu besar dana di tubuh partainya. Ironisnya, partai seolah buta dan tuli. Tak pernah mempermasalahkan dana berasal dari mana.
Lalu apa alasan paling mendasar yang menyebabkan Banggar memboikot pembahasan-pembahasan RAPBN tersebut? Banggar beranggapan dengan adanya campur tangan penegak hukum merupakan intervensi berlebihan dan mengganggu ketenangan berkonsentrasi. Jawabannya tentu saja mengada-ada dan mustahil. Asumsi publik lebih condong dalam menafsirkannya sebagai langkah cengeng, sombong dan tidak memihak rakyat. Publik menilai boikot yang sempat digencarkan Banggar tak lebih untuk mengulur waktu dan berkelit dari proses hukum yang sedang ditegakkan oleh KPK.
Penutup
Sejatinya, pihak-pihak yang berada dalam komposisi lembaga sekaliber Banggar, harus merasa keberpihakan terhadap rakyat dan anti korupsi. Mereka seharusnya punya hati nurani yang lebih lembut ketimbang politisi lain di DPR. Sebab menyangkut urusan anggaran yang berada dalam kewenangannya merupakan urusan paling vital negeri ini. Nafas dan nyawa negara ditentukan oleh anggaran. Negara maju, subur, makmur dan sejahtera justru tercermin dalam angka-angka itu.
Maka sangat disayangkan, ditengah keterpurukan dan krisis moral yang dipertontonkan banyak pejabat dan publik figur. Banggar sebagai manifestasi produk aspirasi rakyat dalam pemilu justru harus memilih boikot, mogok atau entah apalah namanya sebagai langkah merespon sebuah proses KPK. Kalau merasa tidak pernah melakukan praktek yang melanggar hukum lalu kenapa mesti menghindar?
Hendaklah Banggar, politisi yang mengabdikan dirinya di parlemen sedikit saja untuk mengerti akan nasib rakyat seluruh negeri ini. Pimpinan DPR juga mesti mencari solusi paling arif sebelum pembahasan RAPBN tersebut berantakan. Tentu sebagai lembaga tinggi masih banyak orang-orang mumpuni yang berjiwa bijak dan tidak cengeng yang masih layak untuk duduk di ruang Banggar itu. Publik terus menanti realisasi nyata.
Penulis adalah mahasiswa semester akhir Fakultas Hukum UMA.(analisadaily)
SHARE BERITA: