Mulai sertifikasi, rencana penghentian tunjangan profesi pendidik (TPP), hingga distribusi guru yang tidak merata. Untuk itulah, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mendesak dilakukannya evaluasi otonomi pendidikan.
Apalagi, PGRI belum bisa mengetahui dengan pasti ancaman yang bakal menimpa anggotanya. Yakni, rencana dihentikannya TPP bagi guru yang asal usulnya berasal dari honorer non APBD/APBN dan yang SK pengangkatannya tidak ditandatangani pejabat berwenang. "Saya tidak tahu berapa jumlahnya," ujar Ketua PGRI Sulistyo kemarin (24/11).
Apalagi, PGRI belum bisa mengetahui dengan pasti ancaman yang bakal menimpa anggotanya. Yakni, rencana dihentikannya TPP bagi guru yang asal usulnya berasal dari honorer non APBD/APBN dan yang SK pengangkatannya tidak ditandatangani pejabat berwenang. "Saya tidak tahu berapa jumlahnya," ujar Ketua PGRI Sulistyo kemarin (24/11).
Ketidakjelasan jumlah anggota PGRI yang terancam tidak mendapat TPP itu sangat disayangkan Sulistyo. Dia khawatir itu bisa memicu kerisauan para pengajar. "Inginnya komprehensif, kalau dulu pernah dapat, jangan tiba-tiba distop," harapnya.
Seperti diberitakan, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ainun Na"im mengeluarkan surat edaran bernomor 088209/A.C5/KP/2011. Di dalamnya mengatur pembatasan pemberian TPP bagi pengajar.
Sulistyo mendesak pemerintah pusat dan daerah melakukan perbaikan sistem penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Dana Alokasi Khusus (DAK), tunjangan profesi guru, subsidi, dan tunjangan fungsional bagi guru non-PNS. Tujuannya, agar dapat diterima tepat waktu dan bisa dimanfaatkan secara efektif.
Kalau munculnya pembatasan itu untuk memperbaiki kinerja, dia berharap pemerintah benar-benar melakukannya dengan baik. Sesuai UU No 14/2005 tentang guru dan dosen, yakni dengan mengutamakan peningkatan kompetensi dan remunerasi. "Ingat, buruknya pendidikan dan kualitas pengajar saat ini karena buruknya pembinaan masa lalu," tuturnya.
Dia berharap agar diskriminasi dan pelecehan terhadap profesi guru bisa dihentikan. Terutama guru tidak tetap dan honorer yang selama ini posisinya terus terpojok. Proses rekuitmen yang tidak jelas membuat kesejahteraan terhadap kedua kategori guru itu makin merana.
Oleh sebab itu, lanjutnya, pemerintah harus membuat kebijakan berdasarkan dengan kehidupan nyata para guru, bukan dengan angan-angan. "Terutama angan-angan guru besar dari universitas yang kadang tidak tahu betul kondisi riil di daerah," katanya.
Di hari ulang tahun ini, PGRI juga berharap agar pemerintah daerah bisa menghitung kebutuhan guru dengan cermat. Ketidakakuratan data, menurutnya, bisa berdampak buruk pada penyelesaian persoalan pemerataan distribusi guru. Dia lantas mencontohkan wilayah Jawa Tengah dimana banyak kepala daerah dinilai tidak cermat dalam menghitung kebutuhan.
"Jumlah guru di Indonesia memadai, tetapi wilayah terpencil masih saja kekurangan," keluhnya. (dim/ttg/ppn.com)
SHARE BERITA: