Bila mengingat kembali akan masa-masa lalu, sedikit banyak pasti kita akan
mengenang kembali beberapa sosok para pekerja dengan profesinya yang luhur. Betapa mereka, yang berkat jasa-jasanya, kita bisa jadi seperti sekarang ini. Sejak pertama belajar untuk lepas dari pelukan bunda, sejak itu pula penulis mulai dihadapkan dengan berbagai pengetahuan formal.
Meski pada awalnya pemahaman itu cukup sulit untuk ditangkap apalagi dicerna. Penulis yang belum genap lima tahun kala itu bersama teman sebaya lainnya akhirnya diajarkan lewat gaya bersahabat, sambil bermain dan bernyanyi; belajar.
Sosok-sosok penyampai ilmu formal itu sungguh tekun dan tangguh, walau terkadang sifat acuh tak acuh, nakal dan usil kerap menjadi tantangan terberat terhadap kesabaran mereka. Perlahan namun pasti, keteguhan mampu menjadi pengobat lara, sedikit demi sedikit akhirnya mereka mampu menyampaikan tataran formal itu secara tuntas kepada penulis. Sungguh mulia. Merekalah para insan guru itu. Insan yang untuk di ‘gugu’ dan ditiru. Insan yang rela mengabdikan dirinya secara tulus untuk mendidik dan memberi pengajaran.
Sosok-sosok penyampai ilmu formal itu sungguh tekun dan tangguh, walau terkadang sifat acuh tak acuh, nakal dan usil kerap menjadi tantangan terberat terhadap kesabaran mereka. Perlahan namun pasti, keteguhan mampu menjadi pengobat lara, sedikit demi sedikit akhirnya mereka mampu menyampaikan tataran formal itu secara tuntas kepada penulis. Sungguh mulia. Merekalah para insan guru itu. Insan yang untuk di ‘gugu’ dan ditiru. Insan yang rela mengabdikan dirinya secara tulus untuk mendidik dan memberi pengajaran.
Kata guru berasal dari bahasa sansekerta yaitu; guru, akan tetapi secara harfiah pengertiannya berkonotasi menjadi "berat" yaitu seorang pengajar suatu ilmu. Secara bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pengertiannya sebagai pendidik profesional dengan tugas utama untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (sumber : wikipedia).
Momentum
Pada 25 Nopember negara kita memperingati hari guru nasional. Secara serentak para insan mulia yang tergabung dalam wadah Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGRI) itu akan melaksanakan upacara kebesarannya di masing-masing alun-alun kota, di sekolah-sekolah maupun di kantor-kantor instansinya. Meski bukan merupakan hari libur nasional dan para murid tak diliburkan cukuplah untuk menyisihkan sedikit waktu dalam sehari itu untuk mengucap sedikit penghargaan dan mungkin pula memberi sedikit cenderamata tanda kita masih menghargai mereka.
Tahun ini merupakan perhelatan HUT ke 66 PGRI. Tentu bukan merupakan suatu waktu yang singkat. Usia kematangan menggambarkan betapa asam garam pengalaman yang menggambarkan berbagai cobaan telah mampu dilewatinya untuk sebuah kedewasaan. Dewasa dalam berlaku dan matang dalam mengajarkan tiap tataran kebajikan dan etika itu secara mendasar pada tiap relung hati para anak bangsa. Berbagai disiplin ilmu, bermacam kaidah dan nilai sosial moral dan agama ditanamkan sejak dini lewat keuletan mereka. Para murid diajak untuk turut membuat cita-citanya. Jadi presiden kah?, menteri, tentara, pilot ataukah seorang polisi.
Presiden dulu bisa membaca dan menulis karena jasa guru, menteri bisa pintar dalam berhitung dan membagi juga berkat jasa sosok pendidik itu. Presiden dan menteri bisa menjadi orang hebat, makmur dan berhasil serta sejahtera seperti saat sekarang ini mustahil tanpa mendapat bimbingan dan jasa sang guru tersebut. Tapi jauh dibalik itu, benarkah para guru kini telah cukup diberi penghargaan atas jasa dedikasinya? Benarkah kesejahteraan telah sempurna menopang kondisi mereka? mari kita sejenak merenung dan melirik kondisi mereka.
Kondisi Guru Saat Ini
Meski pada dasarnya seorang guru adalah sosok sentral yang memiliki peran paling penting dalam pembangunan bangsa ini, namun ternyata hal itu tak berbanding lurus dengan kesejahteraan yang mereka terima. Minimnya pendapatan, apalagi bagi kalangan non PNS, diskriminasi internal birokrasi, nihilnya jaminan bagi hunian mereka hingga mandeknya upaya peningkatan kualitas keilmuan secara akademis menjadi kendala paling nyata kita lihat.
Minimnya pendapatan, terutama bagi kalangan guru non PNS (swasta/honorer) yang hanya mengandalkan pendapatannya melalui jumlah jam ajarnya. Tak jarang kita dengar ada seorang guru honorer yang sampai tak menerima gaji selama beberapa bulan. Sesuka hati dimutasi dan dipecat. Terjadinya diskriminasi internal birokrasi lebih menekankan adanya semacam kasta-kasta tertentu dalam lembaga instansinya, baik yang dari pejabat eselon, dari kepala sekolah maupun internal sesama guru.
Bukan rahasia umum lagi, siapa paling pandai cari muka maka dialah yang diperhatikan atasan. Bagi beberapa guru yang mengabdikan dirinya di suatu daerah yang jauh dari kabupaten/kota, jelas menjadi salah satu kendala terberat untuk menambah kualitas pendidikan ke arah jenjang yang lebih mumpuni (kuliah). Hingga kandasnya solusi ketika ingin mendapatkan perhatian di bidang perumahan, kesehatan maupun lainnya. Akhirnya pragmatisme dunia pendidikan semakin buntu.
Secara umum tingkat kesejahteraan para guru di Indonesia masih relatif paling rendah dibanding dengan negara lainnya. Rendah bukan hanya dalam segi nominalnya saja, namun harus juga melihat perkembangan dunia pasar. Apa-apa serba mahal sekarang yang mengakibatkan seorang guru akan berfikir bagaimana untuk mencukupi kekurangan itu. Dugaan indikasi pengutipan liar/permainan dalam berbagai bentuk semisal uang pembangunan, uang buku atau uang lab/praktek terasa menyesakkan dada. jadi wajar saja yang ada akhirnya saling curiga, antara wali/orangtua maupun guru.
Sekedar mengintip penghasilan guru di Jepang misalnya. Education at a Glance-nya OECD (Japan) memberitakan bahwa seorang guru disana memperoleh 156,500 yen per bulan (setara dengan 156,500xRp75.295=Rp 11,783,667). Selama 20 tahun bekerja seorang guru sekolah publik akan memperoleh gaji sebesar 362,900 yen atau setara Rp 27,324,555 per bulan.
Kondisi yang sangat bertolak belakang dengan kondisi di tanah air. Kendati dana tambahan telah dikucurkan berupa insentif sertifikasi namun hal itu belum mampu menjawab secara substansi. Banyak para guru yang berkecimpung dengan usaha sampingan untuk tetap mampu menopang kondisi keluarganya seperti membawa becak, ojek, berjualan, memberi les prifat di beberapa tempat. Akhirnya secara logika, perspektif keprofesionalan seorang guru jadi diragukan. Bagaimana mungkin guru seperti ini akan mencurahkan 100 persen perhatiannya bagi dunianya? Ironis memang dana APBN yang nyata-nyata diporsikan dengan jumlah yang jumawa terbanyak bagi dunia pendidikan namun masih saja menyisakan berbagai keprihatinan kondisi kesejahteraan para guru.
Guruku malang guruku tersayang. Bila guru kencing berdiri murid kencing sambil berlari. Artinya, tidak jauh perilaku murid terhadap sosok gurunya. Bila masih saja kita menyaksikan kondisi menyedihkan yang dialami para guru di negeri ini, apakah akan maksimal perhatiannya terhadap kualitas pendidikan itu? Jangan memaksa guru untuk mencari jalan rezeki lain yang ringkas. Sebab hal itu berpotensi memicu inkonsistensinya dalam profesi. Biarlah mereka berkonsentrasi memajukan dunia pendidikan itu dibarengi jaminan kesejahteraan hidupnya. ***
Penulis adalah Mahasiswa UMA(Irfan Alma/Analisa)
SHARE BERITA: