Tak pelak lagi, bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah hidup rakyatnya banyak yang miskin. Data dari BLT atau bantuan langsung tunai dua tahun lalu menunjukkan ada 19 juta lebih keluarga miskin. Nah, kalau dikalikan tiga saja, karena rata-rata rumah tangga (suami-istri dengan dua anak), maka jumlah orang miskin mencapai 76 juta jiwa. Itu yang terdata, belum lagi mereka yang tak terdata. Masih untung pemerintah tidak menaikkan harga BBM. Jika BBM naik maka semakin meluaslah kemiskinan di negeri ini.
Sekalipun faktanya koruptor itu lebih berbahaya bagi masyarakat, bangsa, dan negara, namun hukuman buat pelaku korupsi demikian ringannya. Belakangan ini, terkait kasus suap Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom para pelaku tak sampai 2 tahun dihukum. Sangat ringan sehingga dipastikan tidak akan menakutkan!
Beda dengan kasus teroris. Vonis Amir Jamaah Ansharut Tauhid KH Abu Bakar Ba’asyir dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Memprihatinkan memang melihat rendahnya hukuman bagi para koruptor di Indonesia, sehingga wajar-wajar saja kalau kasus korupsi semakin meningkat. Dan sebagai perbandingan lagi, Abdullah Sunata, terdakwa teroris pelatihan militer di Aceh divonis 10 tahun penjara. Mantan anggota Brimob Sofyan Tsauri divonis 10 tahun. Ia terbukti menjual senjata api kepada teroris jaringan Aceh. Sementara Syarifudin Zuhri yang menyembunyikan Noordin M Top diganjar 8 tahun penjara. Pelaku bom Bali lalu divonis mati dan sudah menjalani eksekusi.
Sebelumnya, Mahkamah Agung mengeluarkan data tentang hukuman bagi koruptor selama 2010. Dari banyaknya koruptor yang divonis, mayoritas hanya divonis 1 hingga 2 tahun saja. Sebanyak 442 kasus korupsi sudah diputus. 90,27 Persen koruptor divonis bersalah, dan tercatat 269 perkara atau 60,68 persen yang terdakwanya divonis antara 1 hingga 2 tahun saja.
Bahkan, MA juga memvonis kasus korupsi dengan vonis di bawah 1 tahun jumlahnya 28 perkara atau 6,33 persen. Tercatat ada 43 perkara atau 9,73 persen perkara korupsi yang terdakwanya dibebaskan. Di daerah-daerah banyak pelaku korupsi tidak terjangkau hukum karena dapat mengatur oknum aparat penegak hukum dengan kekuatan uangnya.
Hemat kita, vonis rendah terhadap pelaku korupsi menunjukkan tidak ada keseriusan dari pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi, termasuk oleh KPK sendiri. KPK lebih senang menunjukkan keberhasilannya menangkap pelaku korupsi, tidak memberi tanggapan dengan hukuman rendah, apalagi melakukan upaya pencegahan. Upaya memasukkan pasal hukuman mati dalam UU Tipikor belum juga terwujud.
Kalau Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq setuju koruptor diperlakukan sama dengan teroris, sebenarnya hal itu sudah banyak diterima di banyak negara sehingga penegak hukum di Indonesia bisa menerapkannya. Apalagi pengurus MUI bahkan Ketua MK dan Menkum HAM pun sependapat hukuman koruptor harus diperberat, boleh disamakan dengan teroris karena dampak negatifnya luar biasa besar.
Dalam syariat Islam hukuman terhadap pencuri saja potong tangan, padahal nilai barang yang dicurinya mungkin kecil tak sampai Rp1 juta. Sehingga hukuman bagi para koruptor yang ''menilep'' uang rakyat bermiliaran rupiah harusnya jauh lebih berat, di mana hukuman mati sangat pas dijatuhkan kepada para koruptor. Dan kalau hukuman mati diterapkan dengan tegas, pastilah para koruptor ketakutan, sehingga afek jeranya membuat para pejabat takut berkorupsi ria saat mendapatkan jabatan dan amanah sebagai pejabat pemerintahan di pusat, provinsi, maupun kabupaten-kota.
Sepertinya hukuman bagi pelaku korupsi saat ini baru ‘’setengah hati’’. Hal itu bisa dilihat dari sulitnya menangkap basah pelaku, kecuali buktinya lengkap atau kecekal KPK dengan sadap rekamannya. Prosesnya berbelit, dan hukumannya sangat rendah. Dan yang membuat miris masyarakat. Saat ditangkap,diproses, maupun setelah vonis pengadilan mereka dapat perlakuan istimewa. Masih bisa ketawa-ketawa, berpakaian necis, dapat fasilitas, dapat remisi dll sehingga tidak terasa sudah bebas kembali ke masyarakat dengan tetap kaya-raya dari hasil korupsinya.
Dengan hukuman demikian rendah pastilah menyulitkan dalam memberantas tikus-tikus korupsi, apalagi di lapangan terlihat jelas bagaimana para koruptor dan keluarga koruptor masih bisa menikmati kekayaannya. Sehingga bagaimana mungkin bisa membuat efek jera jika upaya memberantas korupsi baru sekadar ‘’show’’ dan ‘’main-main’’, sekadar ‘’lips service’’ atau ‘’setengah hati’’ saja. Pantas kalau bangsa ini gagal dan akan semakin parah di masa mendatang jika tidak dilakukan reformasi terkait hukumannya yang ringan bagi pelaku korupsi.
Harusnya Indonesia mengikuti proses hukum di Cina atau nengara lain yang menerapkan hukuman berat, misalnya hukuman tembak mati, hukum gantung terhadap pelaku korupsi tanpa pilih kasih. Di Cina, komitmen itu datang dari pimpinan tertingginya sehingga sudah 3000 koruptor dihukum mati (berat) dilihat oleh para pejabat lain dan rakyatnya. Kalau Cina kini menjadi bangsa yang maju maka Indonesia pun bisa lebih maju dari Cina jika berani memberlakukan hukuman mati bagi koruptor.+
Intisari
KPK harus diperkuat, UU Tipikor dilengkapi dengan pasal hukuman mati bagi pelaku korupsi batu para koruptor tiarap. (sumber:waspada.co.id)
SHARE BERITA: