Berita Terkini

Modernisasi Dan Korupsi


Oleh : M RIDWAN LUBIS 
Modernisasi mendorong korupsi dengan cara mengubah dan menghasilkan sesuatu melalui sistem politik. Penataan mekanisme dan tertib politik pada banyak negara setelah Perang Dunia Kedua masih menjadi topik diskusi menarik di kalangan cendekiawan politik, negarawan, politisi bahkan masyarakat awam. Tidak bisa tidak, setelah sebuah masyarakat memeroleh kemerdekaan dan kemudian melewati fase kehidupan tradisional maka mereka akan memulai babak baru kehidupan yang disebut modernisasi--sebagai akibat dari gerakan rasionalisasi dan fungsionalisasi.

Ketika masyarakat masih diliputi oleh pola kehidupan tradisional maka nilai pada sebuah perbuatan lebih menonjol sedang pada modernisasi yang diutamakan adalah fungsi bagi kehidupan bukan nilainya. Maka modernisasi membawa akibat salah satunya terjadi pembiakan korupsi karena kecukupan materi bagi mereka adalah tujuan. Hal ini terjadi akibat perubahan cara berpikir yang berdampak kepada perilaku sebagaimana judul tulisan ini yaitu hubungan modernisasi dengan korupsi. 

Menurut Samuel P.Huntington dalam bukunya "Political Order in Changing Society"--buku ini diterjemahkan menjadi "Tertib Politik di Dalam Masyarakat yang Sedang Berubah", CV Rajawali, Jakarta (1983)--di samping modernisasi menjanjikan perubahan tetapi juga yang tidak kalah ironisnya, modernisasi melakukan pembiakan perilaku korupsi. Korupsi adalah tingkah laku di antara pejabat negara yang menyimpang dari norma-norma umum pelayanan masyarakat. 

Pengertian pejabat negara dapat diperluas yaitu semua orang yang memiliki otoritas di dalam masyarakat yang kebetulan memiliki kedudukan istimewa. Angka-angka menujukkan, menurut Huntington, perilaku korupsi lebih menonjol terjadinya pada awal modernisasi sebuah bangsa dibanding ketika modernisasi telah berlangsung dengan mapan. Kuatnya perilaku korupsi ketika pranata politik mengalami tekanan keras dan sekaligus terjadinya pembusukan. Organisasi kemasyarakatan dan juga partai politik yang seharusnya berperan menjadi jembatan menuju kehidupan modern, justru ditundukkan kepada ambisi segelintir orang untuk memonopoli seluruh akses. 

Pada sisi lain, pemuka agama dan budaya ketika masyarakat berada pada fase tradisional memiliki kekuatan untuk menolak atau memrakarsai terjadinya perubahan di dalam masyarakat. Lihatlah peran Ulama, Tuan Guru, Tuan Syekh, Pendeta, dan sebagainya yang berhasil meredam kecenderungan perilaku buruk masyarakat. Tetapi ketika terjadi modernisasi, norma-norma etika yang menjadi acuan dasar dalam ajaran agama dan budaya tidak berdaya lagi melakukan reorientasi cara bersikap dan berperilaku agar masyarakat konsisten terhadap cita-cita pendirian sebuah bangsa. 

Hal ini disebabkan karena pemuka agama dan budaya terlambat bersosialisasi dengan modernisasi sehingga kemudian dua figur sosial ini kehilangan peranannya. Akibatnya, modernisasi yang semula diharapkan akan mendorong terwujudnya kesejahteraan kehidupan masyarakat namun berubah menjadi factor yang melakukan pembiakan korupsi. 

Huntington menjelaskan bahwa terdapat tiga alasan kenapa modernisasi membiakkan korupsi. 

Pertama, modernisasi membawa perubahan dasar dalam nilai-nilai masyarakat. Pola hidup sederhana, jujur, rendah hati yang menjadi kebiasaan pola kehidupan masyarakat tradisi kemudian setelah mereka mulai berkenalan dengan modernisasi--maka masyarakat mulai mengenal pola hidup hedonistik, hipokrit, egois yang menjadi dasar yang mendorong mereka untuk terlibat dalam persaingan memperebutkan sumber daya. 

Benih-benih konflik yang ada pada setiap orang karena tuntutan penonjolan identitas lalu menguat menjadi tindakan kompetisi memonopoli sumber daya baik materi maupun non materi. Pola hidup modernisasi berubah yaitu terus menerus diliputi rasa tidak puas untuk selalu mengejar berbagai asesori kehidupan. Lihatlah misalnya, pada rumah tempat tinggal, kenderaan, atribut dalam berbusana semuanya menampakkan kemewahan yang tentunya memerlukan ongkos yang sangat besar. Setiap jabatan diperoleh setelah melalui pembayaran materi maupun janji-janji non materi yang semuanya akan berpeluang menjadi faktor pembiakan korupsi. 

Sementara sanksi-sanksi psikologis dan spritual agama dan budaya mengalami kemunduran wibawa. Masyarakat tidak lagi memiliki figur yang menjadi pialang budaya (cultural broker) akibatnya praktik korupsi menggurita kepada berbagai lini kehidupan. Korupsi di negara berkembang sebagian tidak lagi merupakan akibat utama penyimpangan tingkah laku dari norma umum yang lazim diterima melainkan ekses penyempurnaan norma dari tingkah laku yang sudah mapan. 

Kedua, modernisasi menjadi pembiakan korupsi karena ia menciptakan sumber kekayaan dan kekuasaan baru sementara aktivitas politik belum ditentukan batas-batasnya dalam tradisi kuno. Setiap bentuk peraturan maupun undang-undang selalu bersikap reaktif terhadap perubahan bukan mendahului perubahan. Menjadi sebuah ironi, manakala sebuah peraturan dirancang justru untuk memuluskan terjadinya pembiakan korupsi itu. Akibatnya peraturan maupun undang-undang selalu terlambat dalam menghambat terjadinya perilaku korupsi. Korupsi dalam kerangka ini adalah ekses langsung peningkatan peran politik kelompok baru yang sarat dengan sumber-sumber baru--upaya setiap kelompok pemegang otoritas kekuasaan membuat mereka efektif dalam kegiatan politik. 

Reformasi politik yang terjadi di Indonesia pada masa lalu yang membuka peluang terjadinya pemekaran wilayah politik yang disebut otonomi daerah--sungguh telah bergeser dari tujuan semula yaitu untuk lebih mempercepat terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Ajang pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah berkembang menjadi kompetisi yang semakin mengkhawatirkan masyarakat. Tidak terbayangkan berapa ongkos politik yang dipersiapkan calon yang turut dalam perebutan jabatan Pilkada dan kapan biaya itu bisa kembali. Akhirnya, bangsa ini yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang rukun berubah menjadi bangsa yang beringas dan menjurus kepada sikap-sikap intoleransi. Hal ini disebabkan karena pola berpikir telah berubah bahwa kekuasaan politik menjadi tujuan bukan sarana mencapai tujuan. Norma kepatutan yang diajarkan agama dan budaya menjadi sesuatu yang dianggap telah ketinggalan zaman. Karena dengan kekuasaan politik akan membawa kemudahan menopoli berbagai akses sebagai pemegang otoritas pemerintahan. 

Ketiga, modernisasi mendorong korupsi dengan cara mengubah dan menghasilkan sesuatu melalui sistem politik. Apabila pada masa lalu, titik berat peran pemerintahan terletak di tangan eksekutif maka sekarang berubah yaitu legislatif juga ikut sebagai pemegang peranan itu. Lihatlah misalnya bagaimana peranan legislatif yang mengurusi bidang anggaran menjadi semacam lumbung untuk menghimpun pundi-pundi kekayaan materi. 

Akhirnya, sekalipun modernisasi di satu sisi positif akan tetapi ia juga menjadi kekuatan yang mengerikan karena ia tetapi ia bisa berubah menjadi monster yang mengerikan. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, lebih banyak dipahami sekedar semboyan untuk memenuhi amanat konstitusi. Seruan komitmen keberagamaan hanya tinggal dikenal di rumah ibadat, pengajian, majelis taklim dan ketika ada peristiwa kematian. Oleh karena itu, selayaknya bangsa Indonesia merumuskan kembali makna modernisasi agar perjalanan kehidupan bangsa ini terhindar dari dampak pembiakan korupsi sebagaimana pengalaman negara-negara lain.

Sumber: Waspada.co.id

SHARE BERITA:


Alamat: Jl. Tiga Lingga No. 34 Km 6, Dairi, Sumatera Utara Kontak : 6285360048678, 6288261852757 Email : maha_lipan@yahoo.co.id, maha.lipan@gmail.com.

Hak cipta @ 2009-2014 MAHALIPAN Dilindungi Undang-undang | Designed by Mahalipan | Support by Templateism.com | Power by Blogger

Theme images by Gaussian_Blur. Powered by Blogger.