Illustrasi |
Jakarta - Pendanaan partai politik adalah salah satu isu penting yang menyertai perjalanan bangsa ini menuju penyelenggaraan Pemilu 2014.
Dikatakan isu penting karena uang atau pendanaan, seperti pernah dikatakan Karl-Heinz Nassmacher adalah satu dari tiga pilar yang mempengaruhi kegiatan partai politik dalam berkompetisi.
Dua pilar lainnya adalah organisasi atau lembaga dan tenaga sukarela, kata profesor emeritus bidang ilmu politik Universitas Oldenburg Jerman itu.
Karena itu, dalam melakukan kampanye sebagai momen penting parpol untuk memengaruhi konstituen secara persuasif, keterlibatan uang menjadi sangat penting.
Berbagai metode kampanye dipakai pengurus dan kader parpol dalam mempromosikan visi dan misi program partainya maupun calon anggota legislatif (caleg) yang diusung.
Di antara metode kampanye yang lazim digunakan adalah kampanye tatap muka, penggunaan iklan di media massa, dan pemasangan atribut di tempat keramaian.
Dengan ragam kampanye yang ada itu, pengawalan khusus terhadap keterlibatan uang dalam pelaksanaan kampanye agaknya perlu dilakukan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu telah menyusun rancangan peraturan terkait dana kampanye, tetapi hal yang diatur hanya sebatas pembuatan rekening khusus dana kampanye, serta pelaporan penerimaan dan pengeluaran sumber dana selama masa kampanye.
Di dalam draf peraturan KPU tersebut tidak diatur mengenai ketentuan limitasi belanja parpol selama melaksanakan kampanye padahal pengaturan pembatasan dana kampanye dapat mendorong terwujudnya transparansi pendanaan parpol, disamping menciptakan keadilan di antara peserta pemilu.
"Pembatasan dana kampanye itu merupakan salah satu elemen untuk mendorong transparansi penggunaan dana saat kampanye yang digunakan partai politik sebagai arena untuk mengumpulkan modal," kata peneliti politik Didik Supriyanto.
Dalam mengatur pembatasan belanja kampanye terdapat kondisi dilematis bagi peserta pemilu terkait persoalan pemenuhan hak kebebasan dan kesetaraan di antara peserta pemilu dalam berkampanye.
Di satu sisi, apabila belanja kampanye dibatasi, hal itu dianggap melanggar hak kebebasan peserta pemilu dalam upaya meraih suara terbanyak dari konstituen, katanya.
Di sisi lain, jika tidak ada ketentuan nominal dana dalam berkampanye, maka semakin banyak uang yang dimiliki parpol, semakin banyak pula suara yang diperoleh sehingga menimbulkan kesenjangan di antara peserta pemilu.
"Justru pembatasan dana kampanye itu menyeimbangkan kedua prinsip itu. Ketika prinsip kebebasan diberikan seluas-luasnya, maka pada saat bersamaan peserta pemilu dapat masuk ke dalam wilayah ambang batas kesetaraan," kata Didik.
Pemilu Berbiaya Mahal
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, setiap caleg yang bertarung pada Pemilu 2014 harus mengantongi suara terbanyak untuk dapat ditetapkan sebagai anggota legislatif.
Dengan demikian, tentu upaya para peserta pemilu dalam rangka peraihan suara terbanyak tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung mengatakan, pada Pemilu 2009, seorang caleg setidaknya harus bermodal Rp500 juta hingga Rp600 juta hanya untuk berkampanye mempromosikan diri kepada para konstituen di daerah pemilihan (dapil).
Nominal tersebut dinilainya relatif sedikit karena terbentur dengan pembentukan UU Pemilu Legislatif Nomor 10 Tahun 2008 yang baru disahkan beberapa bulan menjelang Pemilu 2009 sehingga caleg tidak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan dana besar untuk kampanye.
Hal itu berarti, pembiayaan setiap caleg untuk berkampanye pada Pemilu 2014 mendatang akan membengkak karena UU Nomor 8 Tahun 2012 sudah dipersiapkan lebih matang daripada UU sebelumnya.
Caleg memiliki cukup banyak waktu untuk mengumpulkan modal sebelum berkampanye.
"Jumlahnya diperkirakan akan mencapai hingga Rp1,2 miliar hingga Rp1,5 miliar untuk setiap caleg padahal ada setidaknya 560 kursi DPR, 132 kursi DPD dan 1.780 kursi untuk DPRD tingkat provinsi dan kabupaten di seluruh Indonesia."
Kalkulasi modal caleg itu tidak termasuk keterlibatan pemilik modal atau pengusaha di dalam partai politik yang secara tidak langsung mempengaruhi pendanaan kampanye peserta politik dalam Pemilu.
Dibutuhkan regulasi "berani"
Pada Pemilu 2009, Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan 150 kasus dugaan politik uang yang dilakukan dengan modus membagi-bagikan uang tunai secara langsung kepada calon pemilih.
Oleh karena itu, jika tidak diikuti dengan pengaturan pembatasan dana kampanye dan juga pemberlakuan sanksi terhadap pelanggar peraturan tersebut, predikat "Pemilu Bersih" dikhawatirkan akan sangat sulit diwujudkan di Tanah Air.
Dalam draf peraturan KPU tentang dana kampanye disebutkan tiga sumber sumbangan dana yang boleh diterima untuk kegiatan kampanye, yaitu dari parpol melalui rekening khusus, dari caleg parpol bersangkutan, serta sumbangan asing lain yang sah menurut hukum.
Harta kekayaan pribadi pengurus dan anggota parpol boleh diberikan sebagai sumbangan untuk berkampanye, sedangkan sumbangan lain yang dimaksud adalah berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan dan badan usaha nonpemerintah.
Namun, dalam draf peraturan KPU tersebut tidak diatur mengenai sanksi tindak pidana jika sumber sumbangan parpol terbukti diperoleh dari hasil korupsi dan/atau tindak pidana pencucian uang.
"Otoritas kami terbatas menurut UU Penyelenggara Pemilu sehingga jika terdapat dana parpol yang terindikas kuat dan terbukti secara `inkracht` merupakan hasil korupsi dan pencucian uang, wewenang pembatalan (keikutsertaan Pemilu) ada di KPK dan Pengadilan Tipikor sesuai UU yang berlaku," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay.
Sementara itu, besaran dana sumbangan yang boleh diberikan kepada partai paling banyak Rp1 miliar dari perseorangan serta Rp7,5 miliar dari kelompok, dan perusahaan atau badan usaha non-pemerintah.
Apabila parpol terbukti menerima sumbangan lebih dari ketentuan tersebut, kelebihannya wajib dilaporkan ke KPU dan diserahkan ke kas negara paling lambat 14 hari setelah masa kampanye berakhir.
Hanya saja, tidak ada sanksi tegas yang diatur bagi parpol yang tidak menyerahkan kelebihan sumbangan dana tersebut apalagi dengan karakter parpol yang tidak mau pengeluaran kampanye mereka dibatasi.
"Kampanye itu justru digunakan parpol sebagai arena mengumpulkan modal.
Kalau belanja kampanye dibatasi, maka ruang gerak untuk mendapatkan donatur akan terbatas. Sekarang saja parpol dilarang menggalang dana hasil korupsi dan pencucian uang, tetapi di undang-undang tidak diatur sanksinya," kata Didik.
Oleh karena itu, pengaturan pembatasan belanja kampanye patut segera diberlakukan agar perputaran uang yang terjadi selama masa kampanye dapat dideteksi dan diawasi penggunaannya.
Sumber: ANTARANews.com
SHARE BERITA: