FOTO KOMPAS |
JAKARTA, Dewan Perwakilan Rakyat mesti berhati-hati dalam merevisi Kitab Undang- undang Hukum Pidana yang diajukan pemerintah. Revisi KUHP itu dikritisi banyak kalangan karena dinilai mengandung ”pasal-pasal karet” yang kontroversial dan ancaman bagi masyarakat.
Revisi KUHP yang misinya untuk unifikasi dan kodifikasi hukum pidana itu seharusnya benar-benar bisa menjadi norma mengakar di masyarakat.
Pemerintah telah menyerahkan rancangan undang-undang KUHP kepada DPR per 11 Desember 2012. Berkas revisi KUHP dengan surat R-88/Pres/12/2012 itu memuat 766 pasal. Dibanding KUHP lama produk kolonialis Belanda (Wetboek van Strafrecht), revisi KUHP menambah 197 pasal.
Namun, rancangan KUHP baru ini dikritisi sejumlah kalangan karena dinilai mengandung pasal kontroversial hingga pasal karet (hatzai artikelen) yang dapat mengancam kebebasan. Beberapa pasal yang mendapat sorotan publik antara lain soal penghinaan kepada presiden (Pasal 265 dan 266), penyadapan (Pasal 300-303), soal komunisme (Pasal 212 dan 213), hingga soal santet (Pasal 293) dan hidup bersama (Pasal 485).
”KUHP ini penting, tapi yang paling penting membuat aturan yang normanya mengakar di masyarakat. DPR harus melakukan uji publik dengan memanggil ahli, akademisi, dan praktisi hukum untuk membuat analisis sehingga bisa memetakan masalah,” ujar pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana, di Jakarta, Sabtu (6/4).
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Hasrul Halili, juga mengingatkan munculnya pasal karet tersebut. ”Melihat performa pengadilan yang masih bermasalah, sebaiknya hati-hati jika ingin membuat pengadilan atas agama, keyakinan, paham, ideologi tertentu. Ingat, pada zaman Orde Baru terdapat pasal-pasal karet yang sering disalahgunakan negara untuk mengkriminalisasi rakyat. Kita patut berterima kasih kepada Mahkamah Konstitusi karena telah membatalkan pasal tersebut, kok sekarang mau dimasukkan lagi pasal yang sama,” ujarnya.
Sengaja dihidupkan
Bagi ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Mudzakir, tim perumus rancangan KUHP memang secara sadar ingin menghidupkan kembali norma penghinaan terhadap presiden meski pasal itu pernah dibatalkan MK. Ia mempertanyakan alasan hukum pasal penghinaan presiden bertentangan dengan UUD 1945. Menurut dia, tidak ada landasan pemikiran yang jelas. Dalam hukum pidana, menghina merupakan perbuatan jahat sejak awalnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden memperlihatkan pemerintah, dan juga DPR, jika menyetujuinya, tidak paham putusan MK. ”Kehadiran pasal ini seperti menentang konstitusi karena keputusan MK yang menghapus pasal penghinaan terhadap presiden itu final dan mengikat,” ujarnya.
Menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Indra, sebagai pelaksana putusan pengadilan, sudah seharusnya pemerintah tidak abai dengan putusan MK yang telah menghapus pasal itu. ”Jika pasal ini dipaksakan masuk, patut diduga ini upaya membungkam sikap kritis masyarakat kepada presiden. Ini jelas upaya mengekang kebebasan berpendapat masyarakat di muka umum,” ujarnya.
Menurut Indra, harga diri presiden dibangun berdasarkan kebijakannya yang prorakyat, yaitu melalui program yang menyejahterakan rakyat, mampu menegakkan hukum, hingga memberantas korupsi. ”Menjaga marwah kepala negara bukan dengan mengekang kebebasan berpendapat,” ujar Indra.
Namun, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan, pasal itu penting terutama untuk menjaga keamanan fisik dan kehormatan presiden sebagai simbol negara. Syaratnya harus dirumuskan jelas agar dalam penerapannya tidak menjadi pasal karet yang dapat membungkam kehidupan berdemokrasi.
Sebelum reformasi, kata Denny, mengkritik, apalagi menghina, presiden tidak bisa. Namun, sekarang, ada anggapan jangankan mengkritik, menghina saja bebas. ”Perlu dibedakan antara mengkritik dan memfitnah atau menghina. Ini harus dirumuskan jelas. Mengkritik boleh, tapi yang tak boleh adalah menghina. Namun, jangan pasal penghinaan presiden ini juga jadi pasal karet yang dapat membungkam kehidupan berdemokrasi, kebebasan berekspresi, atau kebebasan berpendapat,” kata Denny di Ende, Flores, Sabtu.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, dalam KUHP itu diatur segala perbuatan yang menurut negara jahat. ”Nah, perlu diingat, jahat menurut negara dalam bentuk UU itu ada tiga kategori. Pertama diatur KUHP; kedua dalam UU khusus seperti korupsi, pencucian uang, dan terorisme; ketiga UU umum, tapi dalam pasal tertentu ada ditentukan perbuatan jahat. Jangan sampai tumpang tindih,” ujarnya.
Beberapa larangan penyebaran ajaran (isme) dalam revisi KUHP, seperti komunisme, juga dinilai tidak relevan dan tak dibutuhkan. Menurut ahli hukum tata negara Irmanputra Sidin, ketentuan itu obscure (tidak jelas).
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Franz Magnis-Suseno juga sependapat. Mengubah Pancasila dengan alasan apa pun tidak dibenarkan, tetapi paham-paham itu hanyalah sebagai pengetahuan. ”Marxisme punya arti apa. Tidak bisa dioperasionalkan,” katanya.
Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat juga mempertanyakan, bagaimana mengukur maksud orang. Melalui internet atau media sosial, ajaran-ajaran itu mudah diperoleh. ”Apa komunisme masih laku?” kata Komaruddin.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR, Ahmad Yani, mengatakan, revisi sangat dimungkinkan terhadap isi draf revisi KUHP termasuk juga revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, pemerintah tidak dapat lagi merevisi naskah akademiknya karena sudah diserahkan kepada DPR. Saat ini Komisi III masih mempelajari draf revisi KUHP dan KUHAP. Komisi III sedang meminta masukan dari masyarakat.(BIL/ANA/FER/SEM/HEN/NWO/FAJ)
Sumber: KOMPAS.com
SHARE BERITA: