Berita Terkini

Sindiran Busyro dan Budaya Korup DPR

Oleh : Tahan Manullang, SH. Tidak adanya perubahan sikap buruk, khususnya perilaku korup kalangan pejabat Negara, terlebih para anggota legislative nampaknya membuat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas merasa jengkel dan kesal.
Bahkan kekesalan itu bisa jadi sudah lama dipendam serta selama ini mencari momen yang tepat untuk diluapkan ke permukaan. Tentunya memang bahwa bukan hanya seorang Busyro saja yang merasa muak dan jengkel dengan lakon buruk itu. Hampir seluruh rakyat negeri ini selama ini selalu dipertontonkan dengan suguhan memuakkan yang bernama korupsi.
Sejalan dengan itu pula, aparat penegak hukum telah berupaya untuk mengerangkeng para koruptor, namun faktanya bahwa koruptor bukannya jera dengan perbuatannya, bahkan perilaku dan lakon yang sama justru kian bermunculan ke permukaan. Seakan para koruptor sudah bermuka badak yang tidak tahu malu akan perbuatan buruk yang dilakukannya.

Oleh sebab itu, maka menjadi suatu kewajaran bila kemudian Busyro memberikan sindiran bagi kalangan pejabat Negara yang selama ini larut dalam perilaku korup. Pidato kebudayaan yang disampaikan Busyro seharusnya menjadi bahan introspeksi sekaligus cambuk bagi DPR yang memang kini bisa diibaratkan sebagai "kacang lupa kulit". Dalam pidato kebudayaan bertajuk "Paguyuban Kumuh Koruptor dan Polusi Kebudayaan" yang disampaikan di Taman Ismail Marzuki pekan lalu, Busyro menyindir anggota DPR dan juga pejabat negara yang hidup dalam kemewahan.

Dia menilai lembaga negara telah dihuni pemberhala nafsu dan syahwat politik kekuasaan dengan moralitas rendah, sehingga mengakibatkan berakarnya budaya korupsi. Bahkan, Ketua KPK menyebutkan politisi semacam itu termasuk dalam kategori dasamuka alias memiliki karakter yang bisa diubah-ubah. Karakter dasamuka ini bisa memperlihatkan bermacam wajah. Pagi hari berwajah lembut, siang hari muram, egois, dan mudah tersinggung, kemudian menjelma menjadi caci maki yang menganggap lembaga antikorupsi adalah sarang teroris.

Sebaliknya, pada malam hari mereka mendorong agar kasus korupsi dipusatkan pada lembaga antikorupsi. Partai politik saat ini mayoritas dihuni mayoritas politisi yang pragmatis-hedonis. Kita mengapresiasi pejabat negara seperti Busyro yang berani mengungkapkan fakta dan kebenaran yang terjadi di negeri ini. Sebaliknya aneh dan perlu dipertanyakan jika ada politisi atau pejabat yang justru bereaksi keras dan defensif menanggapi pernyataan tersebut.

Sesungguhnya pidato Busyro telah mewakili suara hati rakyat. Selama ini suara mayoritas rakyat cuma bisa dipendam, tetapi kini diangkat ke permukaan. Bagaimanapun, pandangan dan kritik yang disampaikan Busyro sudah pasti akan mendapat apresiasi dari seluruh rakyat negeri ini. Oleh karenanya, maka semestinya para pelaku korupsi merasa malu terhadap bangsa ini, bukan justru sebaliknya, melakukan pembelaan diri dengan maksud untuk menutupi perilaku buruk yang telah dilakoni selama ini.

Hedonis Ditengah Kemiskinan Rakyat

Adanya tanggapan yang bernada pembelaan diri dari para wakil rakyat atas sindiran Busyro seharusnya tidak perlu dilontarkan. Para politisi, khususnya yang kini duduk di DPR dan DPRD, merupakan wakil rakyat. Pemahaman itu seharusnya membuat mereka menjalani kehidupan yang tidak boleh berbeda jauh dari kehidupan rakyat yang diwakilinya. Saat ini 30 juta penduduk Indonesia masih berkubang dalam kemiskinan dan apabila standar kemiskinan dinaikkan sesuai standar Bank Dunia, jumlah penduduk miskin bisa melonjak minimal dua kali lipat dari jumlah tersebut.

Bagi kita sangat tidak pantas jiwa wakil rakyat dan pejabat negara justru menjalani hidup mewah dan hedonis di tengah kemiskinan rakyat. Apalagi, sebagian besar dari mereka bukan terlahir dari keluarga kaya, tetapi justru baru kaya setelah menjadi legislator alias "orang kaya baru". Kalaupun terlahir sebagai orang kaya, empati kehidupanlah yang harus dikedepankan. Mobil mewah, pakaian perlente, dan segala perhiasan, cukup digunakan sesekali saja. Tak perlu mempertontonkan kemewahan tersebut di hadapan rakyat yang masih hidup miskin.

Kita membutuhkan wakil dan pemimpin yang mampu menyelami kehidupan rakyat, bukan memanfaatkan jabatan untuk menumpuk kekayaan, lalu memamerkannya kepada publik. Apabila budaya hedonis terus dikembangkan kita khawatir korupsi akan semakin merajalela. Untuk membiayai kemewahan jelas dibutuhkan dana yang tak sedikit. Bila penghasilan yang diterima tak bisa menopang gaya hidup mewah, korupsi dan jual-beli pasal-pasal peraturan perundangan serta kebijakan, menjadi senjata andalan. Akibatnya, wakil rakyat dan pejabat menjadi tak peka pada derita hidup rakyat, bahkan menjadi tuli.

Aspirasi konstituen tak disalurkan dan kepentingan rakyat pun dikorbankan. Kenyataan itulah yang terjadi saat ini: sebagian wakil rakyat dan pejabat mengedepankan kepentingan pribadi, keluarga, serta kelompok, sehingga mengabaikan kepentingan rakyat. Ke depan, kita berharap perilaku pragmatis-hedonis para wakil rakyat dan pejabat bisa diminimalisasi, bahkan ditiadakan.

Bila itu tak terjadi, rakyat harus berani menghukum mereka saat pemilu dengan tidak memilih politisi bertabiat buruk. Selain itu, kita mendorong parpol lebih selektif merekrut calon anggota legislatif (caleg). Sebaiknya, proses perekrutan itu melibatkan psikolog untuk mendeteksi apakah caleg bermental dasamuka atau tidak. Hal ini penting dilakukan agar aspirasi rakyat sungguh-sungguh diperjuangkan, bukan hanya sekadar alat yang dipakai untuk meraih kursi legislator.

Parpol juga diharapkan membuat kontrak politik untuk menjamin mereka bekerja buat rakyat. Hal yang sama sebaiknya juga dilakukan saat perekrutan pejabat negara lainnya. Sejalan dengan itu, gagasan untuk mengurangi jumlah kursi di setiap daerah pemilihan dalam (dapil) patut didukung agar wakil rakyat bisa lebih dekat dengan pemilihnya.

Rakyat pun akan lebih mudah memantau kinerja wakilnya dan bila tak memuaskan, yang bersangkutan tak usah dipilih kembali pada pemilu berikutnya. Langkah lain yang bisa dilakukan adalah verifikasi kekayaan anggota DPR dan pejabat negara setiap enam bulan sekali. Proses verifikasi itu harus dilakukan lebih serius, bukan hanya formalitas belaka. Apabila ditemukan keganjilan, KPK harus segera turun tangan. Kalau perlu, prinsip pembuktian terbalik diterapkan terlebih dahulu terhadap anggota DPR yang selama ini disinyalir sebagai episentrum korupsi. DPR harus diperlakukan secara khusus dalam artian penerapan hukum yang lebih berat, sehingga dengan demikian, maka diharapkan bahwa efek jera dari penegakan hukum itu sendiri akan dapat diwujudnyatakan. ***

Penulis adalah Direktur Alpiran Sumut (analisadaily.com)

SHARE BERITA:


Alamat: Jl. Tiga Lingga No. 34 Km 6, Dairi, Sumatera Utara Kontak : 6285360048678, 6288261852757 Email : maha_lipan@yahoo.co.id, maha.lipan@gmail.com.

Hak cipta @ 2009-2014 MAHALIPAN Dilindungi Undang-undang | Designed by Mahalipan | Support by Templateism.com | Power by Blogger

Theme images by Gaussian_Blur. Powered by Blogger.