Illustrasi |
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa “kebenaran politik” (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu “identitas budaya” debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah sumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.
Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrem seperti nasional sosialisme, pengasingan, dan sebagainya.
Beberapa Bentuk Nasionalisme
Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan Negara) yang populer berdasarkan pendapat warga negara, etnis, budaya, keagamaan dan ideology. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.
Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, “kehendak rakyat”, “perwakilan politik”. Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-jacques rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudul Du Contact Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia “mengenai kontrak sosial”).
Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johan Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk “rakyat”).
Kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya “Grimm Bersaudara” yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras, dan sebagainya.
Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah ’national state’ adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa adalah Nazisme, serta nasionalime Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Fransquisme sayap kanan di Spanyol, serta sikap ’ Jacobin ’ terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Prancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraann ( equal rights ) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika.
Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama.
Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya perang dingin dan semakin merebaknya gagasan dan budaya globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme.
Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing.
Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari asumsi bahwa fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme.
Nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987).
Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya.
Bahwa nasionalisme adalah penemuan bangsa Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam masyarakat modern (Elie Kedourie, 1960). Nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas. Nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Nasionalismelah yang melahirkan bangsa.
Nasionalisme berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial.
Pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan dengan juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990).
Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial.
Imagined Communities, Anderson berargumen bahwa nasionalisme masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa.
Menurut Plamenatz, nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan industrialisme. Namun, Partha Chatterjee memecahkan dilema nasionalisme antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi.
Dunia spirit, pada sisi lain, adalah sebuah "dunia dalam" yang membawa tanda esensial dari identitas budaya. nasionalisme masyarakat pascakolonial mengklaim kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat.
Dunia Spirit tidaklah statis melainkan terus mengalami transformasi karena lewat media ini masyarakat pascakolonial dengan kreatif menghasilkan imajinasi tentang diri mereka yang berbeda dengan apa yang telah dibentuk oleh modernitas terhadap masyarakat Barat.
penekanan dunia spirit dalam masyarakat pascakolonial adalah bentuk respons mereka terhadap penganaktirian dunia spirit oleh peradaban Barat.
ORIENTASI spiritualitas Timur mengilhami lahirnya konsep Pancasila yang dilontarkan oleh Soekarno kali pertama dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan hasil kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur selama 350 tahun masa penjajahan.
Pancasila merupakan hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme, dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah.
apropriasi konsep-konsep Barat yang secara retoris direpresentasikan sesuatu yang berakar pada budaya lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati konsep gotong-royong yang oleh Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila, tetapi jika ditelusuri ke belakang merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme (John Bowen, 1986).
Nasionalisme Indonesia berakar secara "alami" pada budaya lokal tidak memiliki landasan historis yang cukup kuat. Dari sini kita bisa mengambil satu kesimpulan, yang tentunya masih dapat diperdebatkan, bahwa Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber inspirasi utama.
Nasionalisme sebagai imajinasi kolektif menjadi kabur dan tidak lagi memadai untuk mengamati bagaimana wacana nasionalisme beroperasi dalam relasi kekuasaan.
Nasionalisme berada dalam sebuah relasi antara negara dan masyarakat yang menyediakan kekuasaan yang begitu besar dalam mengendalikan negara (John Breuilly, 1994).
Nasionalisme tidak lagi menjadi milik publik, melainkan hak eksklusif kaum elite nasionalis yang dengan otoritas pengetahuan mendominasi wacana nasionalisme.
Nasionalisme berevolusi menjadi alat manufacturing consent untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan ekonomi politik kelompok elite nasionalis. nasionalisme menjadi arena ekspresi sosial dan budaya masyarakat yang demokratis. (olmedia)
SHARE BERITA: