Sejumlah kendaraan tengah mengisi BBM |
Menaikkan harga BBM jauh lebih efektif dalam menghemat, daripada menaikkan tarif listrik.
Keputusan pemerintah yang lebih memilih menaikkan tarif listrik dibandingkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk menghemat anggaran, dinilai kurang tepat. Berdasarkan simulasi ReforMiner,
menaikkan harga BBM subsidi Rp300 per liter, bisa menghemat lebih besar dibandingkan menaikkan tarif listrik 10 persen.
Dalam ReforMiner's Policy Analysis yang dikutip VIVAnews.com menunjukkan, jika harga Premium dan Solar dinaikkan masing-masing Rp300 per liter, maka dapat menghemat subsidi hingga Rp11,48 triliun.
Penghematan subsidi dapat lebih besar lagi jika harga Premium dan Solar dinaikkan masing-masing Rp500 per liter. Penghematan subsidi mencapai Rp19,14 triliun, lebih besar dibandingkan simulasi pemerintah yang menaikkan tarif listrik 10 persen yang hanya menghemat Rp8,88 triliun.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, menjelaskan, dari simulasi tersebut terlihat bahwa penataan kebijakan subsidi BBM lebih prioritas dibandingkan kenaikan tarif listrik.
"Jelas kiranya pertimbangan dan dasar kebijakan yang digunakan oleh pemerintah lebih banyak mengakomodasi aspek dan pertimbangan politis daripada rasionalitas ekonomi, bisnis, teknis maupun kemampuan anggaran negara," kata Pri Agung kepada VIVAnews.com, Jumat 18 November 2011.
Dalam konteks penghematan subsidi, potensi penghematan dari kebijakan kenaikan tarif listrik relatif tidak signifikan dibandingkan dengan penghematan dan kebijakan kenaikan harga BBM. Kenaikan tarif listrik 10 persen untuk golongan pelanggan di atas 450 VA lebih kecil dibandingkan kenaikan harga BBM subsidi Rp300 per liter.
Dengan harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah yang mengacu pada asumsi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012, harga jual Premium dan Solar baru sekitar 50 persen dari harga keekonomian. Jika harga minyak semakin tinggi dan nilai rupiah terdepresiasi, maka besaran subsidi BBM yang harus ditanggung semakin besar.
"Karena itu jika harga BBM tidak didorong pada harga keekonomian, subsidi BBM berpotensi terus menjadi beban anggaran negara," katanya.
Basis penerima subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh orang yang tidak berhak menggunakan BBM subsidi. Sekitar 80 persen volume BBM subsidi dikonsumsi sektor transportasi, di mana 53 persen dikonsumsi mobil pribadi, 40 persen sepeda motor, 4 persen angkutan barang, dan 3 persen angkutan umum.
"Sedangkan basis data penerima subsidi listrik relatif lebih baik dan tertata dibandingkan dengan penerima subsidi BBM, sehingga potensi terjadinya salah sasaran subsidi listrik dipastikan tidak ada," katanya. (vivanews/art)
Dalam ReforMiner's Policy Analysis yang dikutip VIVAnews.com menunjukkan, jika harga Premium dan Solar dinaikkan masing-masing Rp300 per liter, maka dapat menghemat subsidi hingga Rp11,48 triliun.
Penghematan subsidi dapat lebih besar lagi jika harga Premium dan Solar dinaikkan masing-masing Rp500 per liter. Penghematan subsidi mencapai Rp19,14 triliun, lebih besar dibandingkan simulasi pemerintah yang menaikkan tarif listrik 10 persen yang hanya menghemat Rp8,88 triliun.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, menjelaskan, dari simulasi tersebut terlihat bahwa penataan kebijakan subsidi BBM lebih prioritas dibandingkan kenaikan tarif listrik.
"Jelas kiranya pertimbangan dan dasar kebijakan yang digunakan oleh pemerintah lebih banyak mengakomodasi aspek dan pertimbangan politis daripada rasionalitas ekonomi, bisnis, teknis maupun kemampuan anggaran negara," kata Pri Agung kepada VIVAnews.com, Jumat 18 November 2011.
Dalam konteks penghematan subsidi, potensi penghematan dari kebijakan kenaikan tarif listrik relatif tidak signifikan dibandingkan dengan penghematan dan kebijakan kenaikan harga BBM. Kenaikan tarif listrik 10 persen untuk golongan pelanggan di atas 450 VA lebih kecil dibandingkan kenaikan harga BBM subsidi Rp300 per liter.
Dengan harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah yang mengacu pada asumsi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012, harga jual Premium dan Solar baru sekitar 50 persen dari harga keekonomian. Jika harga minyak semakin tinggi dan nilai rupiah terdepresiasi, maka besaran subsidi BBM yang harus ditanggung semakin besar.
"Karena itu jika harga BBM tidak didorong pada harga keekonomian, subsidi BBM berpotensi terus menjadi beban anggaran negara," katanya.
Basis penerima subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh orang yang tidak berhak menggunakan BBM subsidi. Sekitar 80 persen volume BBM subsidi dikonsumsi sektor transportasi, di mana 53 persen dikonsumsi mobil pribadi, 40 persen sepeda motor, 4 persen angkutan barang, dan 3 persen angkutan umum.
"Sedangkan basis data penerima subsidi listrik relatif lebih baik dan tertata dibandingkan dengan penerima subsidi BBM, sehingga potensi terjadinya salah sasaran subsidi listrik dipastikan tidak ada," katanya. (vivanews/art)
SHARE BERITA: