Menurut Saharuddin, putusan Mahkamah Agung justru menodai komitmen penegakan hukum atas dasar keadilan. Dengan putusan seperti itu, kata dia, maka julukan benteng terakhir keadilan yang selama ini melekat pada Mahkamah Agung sudah runtuh dan porak-poranda oleh fungsionaris Mahkamah Agung.
"MA cenderung menerapkan hukum dan keadilan seperti pisau tajam ke bawah dan ke depan, tetapi tumpul ke samping, ke belakang, dan ke atas," kata Saharuddin.
Komisi Nasional HAM telah memberikan rekomendasi bahwa apa yang dilakukan Prita terhadap RS Omni Internasional adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945 jo UU 39/1999 tentang HAM jo UU 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak Sipil dan Politik. Namun, Mahkamah Agung tidak pernah menggubris dan tetap ingin berpesta dengan kewenangannya menzalimi rakyat kecil dan melindungi pemilik modal.
"Apa pun alasannya, putusan itu jelas-jelas melanggar HAM dan menjungkirbalikkan hukum dan keadilan," kata Saharuddin.
Dia mengaku akan mendorong Komisi Yudisial dan Yudicial Watch agar mengusut tuntas oknum hakim agung yang memutus perkara ini. Bahkan jika perlu, kata dia, DPR menggunakan hak inisiatif membuat Undang-Undang anti kesewenang-wenangan peradilan. "Kalau ada gerakan boikot pengadilan dan Mahkamah Agung, saya pun akan mendukung, demi membersihkan benteng keadilan dari mafia pengadilan," kata Saharuddin. (Sumber : tempo interaktif)
SHARE BERITA: