Batu bara. Ilustrasi shutterstock.com |
Koalisi Anti Mafia Tambang yang terdiri dari sekitar 50 organisasi masyarakat sipil mengungkap karut marut pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Indonesia. Temuan tersebut berawal dari KPK yang melaksanakan koordinasi dan supervisi di bidang Mineral dan Batubara (Minerba) di 12 provinsi.
Pemilihan 12 provinsi yakni berdasarkan potensi hasil tambang yang ada di daerah itu, diantaranya Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Jambi, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara serta Kalimantan Barat.
Anggota AURIGA, Syahrul menuturkan KPK sempat kesulitan lantaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak mempunyai data lengkap IUP yang telah dikeluarkan.
"Masalah awal ditemukan ketika KPK meminta semua IUP di Kementerian ESDM. Ternyata mereka tidak punya lengkap," ujar Syahrul di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (7/12).
Kemudian, lanjut Syahrul, KPK meminta data ke tingkat Provinsi. "Karena izin awal ada di provinsi. Tapi provinsi juga ternyata enggak punya," bebernya.
Lantaran ketidaklengkapan data IUP yang dimiliki pejabat tingkat provinsi, tambah Syahrul, KPK pun meminta langsung ke masing-masing kabupaten.
"Dan kabupaten minta lagi di perusahaan. Semua data yang ada di perusahaan," ucapnya.
Seharusnya pemerintah daerah (Pemda) mempunyai data IUP yang sudah dikeluarkan. Sebab, pengurusan izin awal IUP ada di tingkat pemda.
Sebelumnya, Koalisi Anti Mafia Tambang menemukan berbagai kerusakan lingkungan dari hasil eksplorasi tambang yang ada di wilayah Indonesia. Tak sedikit perusahaan tambang yang melanggar Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan membongkar wilayah hutan lindung serta konservasi yang harusnya dilindungi negara.
Seharusnya wilayah konservasi merupakan daerah yang dilindungi negara. Dia menuding ada peran Pemerintah Daerah dalam persoalan ini. Sebab, izin awal ada di Pemda.
Syahrul mempertanyakan latar belakang Pemda mengeluarkan IUP di wilayah hutan lindung dan konservasi. Syahrul menambahkan, saat ini terdapat 4.672 IUP yang tidak masuk kategori Clean and Clear. "Atau sebanyak 43,87 persen dari total 10.648 IUP. Hal ini menunjukkan lemahnya tata kelola sistem perizinan pertambangan di Indonesia," tegasnya.
Sumber: merdeka.com
SHARE BERITA: