Berita Terkini

Tiga Aktivis Lingkungan Kembalikan Kalpataru Kepada Presiden Yudhoyono

Tiga orang aktivis lingkungan asal Sumatera Utara, akan mengembalikan Penghargaan Kalpataru yang mereka terima  dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pengembalian tersebut sebagai bentuk protes  atas rusaknya hutan akibat perambahan di sekitar Danau Toba.
Jakarta, Sebagai bentuk tanggung jawab moral atas terjadinya kerusakan lingkungan hutan di kawasan Samosir dan Danau Toba, Sumatra Utara, peraih penghargaan Kalpataru dan Wana Lestari, Marandus Sirait, Wilmar Eliaser Simanjorang, dan Hasoloan Manik bersepakat untuk mengembalikan penghargaan tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Kehutanan.

“Hutan di wilayah Samosir dan Toba Samosir telah berkurang luasnya sejak beroperasinya  perusahaan yang membutuhkan kayu untuk bubur kertas. Permohonan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) baik dari perusahaan luar negeri maupun lokal tujuh tahun lalu saya tolak karena saya masih menjabat sebagai bupati. Penolakan tersebut didasari karena saya mengerti manfaat penting kelestarian lingkungan dan saya tahu hutan semakin menipis,” kata Wilmar Simanjorang pada konferensi pers di kantor Walhi Pusat Jakarta, Minggu (1/9).
“Penghargaan Kalpataru yang kami dapat tidak sebanding dengan kerusakan akibat kebijakan keliru oleh pemerintah. Atas dasar tersebutlah penghargaan yang telah kami dapatkan akan kami kembalikan pada Selasa (3/9),” tegas Hasoloan Manik yang berasal dari Kabupaten Dairi. 
Hal senada dikatakan Marandus Sirait yang bertekad dengan pengembalian Kalpataru akan membuka mata pemerintah dan pecinta lingkungan terhadap kondisi Danau Toba.

Perwakilan Walhi Mukri mengatakan, kondisi Danau Toba yang telah ditetapkan sebagai kawasan tujuan wisata dan kawasan strategis nasional harus dijaga fungsi dan kelestariannya. Karena itu, kegiatan yang bersifat merusak seperti penebangan hutan harus dihentikan jangan sampai menungu bencana.

"WALHI memastikan mendukung upaya masyarakat dalam menyelamatkan ekosistem Danau Toba dan penyelamatan lingkungan lainnya di berbagai tempat di Indonesia ini," tegas Mukri. 

Kisah mereka saat mengembalikan kalpataru:
“Diterima atau tidak yang penting kami sudah kembalikan. Sudah plong. Beban moral sudah lepas, kami akan pulang ke Toba,” kata Marandus Sirait, dari Kabupaten Samosir.

Pengembalian penghargaan ini, ujar dia,  agar pemerintah bisa membuka mata dan melihat kondisi Danau Toba yang sesungguhnya. “Kalau dari jauh Danau Toba, itu cantik, coba dari dekat sudah banyak kerusakan. Kalau dulu, memang benar, cantik dari jauh dan dekat.” Dia ingin pemerintah punya komitmen serius dalam menjaga hutan dan lingkungan.
Pada Selasa (3/9/13), ketiga pejuang lingkungan dari Sumatera Utara (Sumut),  ke Jakarta, untuk mengembalikan penghargaan-penghargaan kalpataru dan wana lestari.
Wilmar Simandjorang, kala berbicara tentang penyerahan penghargaan dengan petugas setneg.
Foto: Sapariah Saturi
Tiga orang ini adalah Marandus Sirait dari Kabupaten Samosir mengembalikan penghargaan wana lestari dan kalpataru. Lalu, Wilmar Simandjorang dari Kabupaten Toba Samosir mengembalikan wana lestari dan Hasoloan Manik dari Kabupaten Dairi menyerahkan kalpataru.
Setelah bertele-tele di setneg, akhirnya mereka meletakkan kalpataru di depan setneg tepat di plang bertuliskan daerah terbatas. Foto: Sapariah Saturi
Sekitar pukul 10.00, mereka bersama beberapa pendamping berpakaian adat Batak, berkumpul di Monas. Ada pembacaan puisi berbahasa Batak yang mengisahkan kehancuran Danau Toba karena kerusakan lingkungan sekitar. Lalu dilanjutkan ke sekretariat negara (setneg) untuk menyerahkan kalpataru.
Sesampainya di sekneg, mereka kesulitan untuk menyerahkan penghargaan itu. Mereka diminta menunggu dan hanya boleh tiga orang masuk menyerahkan serta akan diterima humas. Wartawan dan pendamping tak boleh ikut. Ketiga penerima penghargaan ini ingin ada saksi saat menyerahkan selain pihak setneg. “Baik, kami akan koordinasi,” kata petugas setneg.  Kata-kata “baik kami akan koordinasi,” berulang-ulang diucapkan tapi tak juga ada keputusan.
Setelah kurang lebih 30 menit menanti, akhirnya mereka memutuskan meninggalkan setneg. Mereka meletakkan kalpataru di depan plang batas akhir daerah pembatas (restricted area) setneg. Polisi melarang. Pria diduga seorang petugas berpakaian biasa membawa kalpataru ke tempat awal berkumpul.
Setelah bertele-tele di setneg, akhirnya mereka meletakkan kalpataru di depan setneg tepat di plang bertuliskan daerah terbatas. Foto: Sapariah Saturi
“Jika diterima langsung, berarti kalpataru punya nilai. Ternyata tak diterima. Itu berarti tak berguna. Berarti barang tak bermakna. Barang tak punya nilai,” kata Manik.

Manik tak kecewa diterima atau tidak. “Sudah sampaikan, serahkan dan saya sudah tahu arti kalpataru, yang ternyata tak punya arti dan nilai.”
Selama ini, Manik selaku Ketua LSM Peduli Lingkungan Hidup Indonesia, aktif tanam pohon di sekitar Danau Toba, maupun hutan gundul, sampai ikut menjaga Taman Nasional Gunung Lauser. Mereka tak perlu penghargaan. “Pulang ke daerah kami akan tetap menjaga lingkungan,” kata Manik.
Hasoloan Manik, tanda tangan serah terima kalpataru di depan Monas.
 Foto: Sapariah Saturi
Senada dengan Simandjorang. Dia tak peduli ada yang menerima pengembalian penghargaan atau tidak. “Kami kembalikan, tak diterima ya tinggalkan di situ.”
Kekecewaan terhadap pemerintah sangat dalam. Dia melihat begitu banyak kejahatan kehutanan, tetapi pemerintah seakan tutup mata. Dia lapor kerusakan hutan dari level kabupaten sampai pusat, tak ada tindak lanjut. “Saya ini mantan Bupati Samosir. Dulu, banyak perusahaan datang minta izin ini itu, tak saya kasih. Sejatinya, yang mau minta izin buka kebun, perikanan, itu ecek-ecek. Intinya mau ambil kayu.”
Marandus Sirait kala tanda tangan serah terima kalpataru di depan Monas. Foto: Sapariah Saturi
Walhi yang ikut mendampingi mereka sejak awal mengingatkan pemerintah agar sadar, bahwa pemberian penghargaan saja tak cukup. Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan Walhi Nasional mengatakan, pelibatan masyarakat dalam melestarikan hutan dan lingkungan harus dinilai dengan penghargaan lebih tinggi. “Penghargaan atas hak hidup dan lingkungan yang baik dan sehat.”
Wilmar Simandjorang menandatangani serah setima wana lestari di depan Monas. Foto: Sapariah Saturi
Akhirnya, para penerima Kalpataru melakukan tanda tangan serah terima penghargaan kepada perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup, yang kebetulan hadir. “Karena penghargaan ini dari KLH, kalaupun mereka mengembalikan kami akan menerima dengan baik,” kata Agus Sukanda,  Kepala Bidang Peningkatan Peran dan Kelengkapan Organisasi Kemasyarakatan KLH.
Agus Sukanda dari KLH, saat membawa kalpataru yang dikembalikan di depan Monas. Foto: Sapariah Saturi
Menurut dia, pengembalian penghargaan ini merupakan hak asasi masyarakat penerima. “Ini juga satu bentuk advokasi mereka atas kekhawatiran kerusakan lingkungan yang terjadi di daerahnya.” “Kita hargai.”
Usai di Monas, mereka ke Kementerian Kehutanan, untuk menyerahkan penghargaan wana lestari. Di sana, mereka diterima Dirjen Bina Usaha Kehutanan, Bambang Hendroyono dan Kepala Humas, Sumarto.
Sumber: Metrotvnews.com dan mongabay.co.id/mahalipan



SHARE BERITA:


Alamat: Jl. Tiga Lingga No. 34 Km 6, Dairi, Sumatera Utara Kontak : 6285360048678, 6288261852757 Email : maha_lipan@yahoo.co.id, maha.lipan@gmail.com.

Hak cipta @ 2009-2014 MAHALIPAN Dilindungi Undang-undang | Designed by Mahalipan | Support by Templateism.com | Power by Blogger

Theme images by Gaussian_Blur. Powered by Blogger.