Darma Putra merupakan dosen ketiga di Unud yang meraih jenjang guru besar bermula dari aktivitasnya sebagai wartawan. Dua pendahulunya, Prof. Yohannes Usfunan (Hukum) dan Prof. I Wayan Windia (Pertanian).
“Saya berutang budi pada dunia jurnalistik,” ujar Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., guru besar sastra Indonesia, Faksas Unud. Bersama empat dosen Unud lainnya, Darma dikukuhkan Rektor Unud Prof. I Made Bakta sebagai guru besar, Sabtu (26/3) di Kampus Bukit Jimbaran.
Keempat guru besar lainnya Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. (ahli sastra Jawa Kuna), Prof. Dr. Ni Ketut Suwiti, M.Kes. (Kedokteran Hewan), Prof. Dr. Ni Luh Putu Wiagustini (Ekonomi), dan Prof. Dr. Rai Maya Temaja, M.P. (Pertanian).Sejak Mahasiswa Darma Putra mengawali karier sebagai wartawan di Bali Post sejak 1980, ketika mulai kuliah semester I di Jurusan Sastra Indonesia. Waktu itu, kenang Darma, banyak teman mahasswa Faksas Unud yang menulis di koran. “Saya ikut, lalu disarankan melamar ke Bali Post oleh Prof. Dr. I Wayan Bawa,” kenangnya.
Karena bakat dan kemampuannya serta sedikitnya orang melirik pekerjaan sebagai wartawan tahun 1980-an awal, karier Darma di Bali Post cepat naik, sampai jabatan terakhir redaktur pelaksana Bali Post Minggu (1986-1988).
Pengalaman wartawan memberikan keterampilan tambahan buat Darma dalam menekuni studi sastra. Setelah tamat, ia menjadi dosen di almamaternya, namun tetap menekuni dunia tulis-menulis di media massa. Darma melanjutkan jenjang master di University of Sydney dan jenjang doktor di University of Queensland, keduanya di Australia. Bali dan BuleDalam pidato pengukuhan guru besarnya Sabtu, Darma Putra mengangkat masalah ‘politik identitas’ Bali. Dia meneliti cerita pendek dan novel yang ditulis sastrawan Bali sejak 1960-an sampai sekarang. Karya tersebut melukiskan pertemuan, persahabatan, dan percintaan atau holiday romance antara Bali dan Bule yang datang ke Bali sebagai turis.
Sebagian besar cerita yang mengisahkan percintaan Bali-Bule, menurut Darma, pengarangnya memutuskan hubungan keduanya walau sudah intim bahkan sampai ke kontak seksual. Menurut Darma, keputusan pengarang Bali mencegah kawin campur bisa ditafsirkan sebagai usaha sastrawan untuk mempertahankan agar orang Bali, dan kebudayaan Bali, tidak kehilangan kebaliannya.
Industri pariwisata, menurut Darma, membuat Bali menjadi ‘benteng terbuka’ (meminjam istilah sarjana Belanda Henk Schulte Nordholt). “Tidak mungkin membendung pengaruh luar, yang bisa dan perlu diperkuat adalah kebudayaan dan jati diri agar benteng terbuka Bali lentur dan kuat dan bijaksana menghadapi pengaruh dunia global,” katanya. Karya-karya sastrawan Bali jelas menunjukkan strategi pengarang menampilkan politik identitas.
Darma sudah menulis sejumlah buku seperti Tonggak Baru Sastra Bali Modern (2000/2010), Wanita Bali Tempo Doeloe Perspektif Masa Kini (2003/2007), Bali Dalam Kuasa Politik (2008), dan baru saja bukunya dalam bahasa Inggris terbit di Belanda berjudul A Literary Mirror; Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century (KITLV Press, 2011). Sebelumnya, Darma bersama Prof. Michael Hitchcock (Inggris) menulis buku Tourism, Development and Terrorism in Bali (Aldershot, UK, 2007).
Darma tampaknya bisa memadukan dunia jurnalistik dan akademik dengan baik sehingga produktif. “Dalam beberapa tahun terakhir, jurusan kami juga menyisipkan keterampilan jurnalistik dalam kurikulum,” kata Darma.(wid/cybertokoh)
SHARE BERITA: